INSIDE POLITIK– Gelombang aksi besar-besaran yang mengguncang sejumlah kota besar di Indonesia hari ini menandai eskalasi kemarahan rakyat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aksi ini merupakan bentuk ekspresi rakyat atas ketidakpuasan mendalam terhadap keputusan DPR yang kontroversial, termasuk penambahan tunjangan rumah bagi anggota dewan, sementara mayoritas masyarakat tengah menghadapi tekanan ekonomi yang kian berat.
Kekecewaan masyarakat semakin memuncak ketika sejumlah anggota DPR merespons kritik publik dengan nada arogan dan menghina. Alih-alih mengoreksi kebijakan atau meminta maaf, mereka memperlihatkan sikap acuh terhadap aspirasi rakyat. Hal ini semakin mempertegas pandangan publik bahwa DPR telah kehilangan legitimasi moral sebagai wakil rakyat.
Namun, luka terbesar datang dari tindakan represif aparat keamanan. Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND Lampung), Dinda Boru Napitu, menuturkan berdasarkan laporan lapangan dan bukti visual yang tersebar luas, sebuah kendaraan taktis aparat menabrak seorang driver ojek online yang sama sekali tidak terlibat dalam aksi demonstrasi, hingga meninggal di tempat.
“Peristiwa tragis ini bukan sekadar kecelakaan. Ini bukti nyata bahwa aparat gagal membedakan antara peserta aksi dan warga sipil. Darah rakyat kembali tumpah akibat tindakan brutal yang seharusnya bisa dihindari,” ungkap Dinda.
Kejadian di Solo menambah daftar pahit peristiwa represif. Seorang mahasiswa menjadi korban ketika aparat menembakkan pentungan tepat di kepala, menyebabkan luka serius. Kekerasan ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga mencoreng wajah demokrasi. Dinda menegaskan, mahasiswa yang selama ini menjadi penyambung lidah rakyat justru dibungkam dengan kekerasan, menandakan bahwa aparat lebih fokus menjaga kepentingan elit daripada melindungi keselamatan warga.
Kebijakan penambahan tunjangan rumah DPR merupakan simbol nyata orientasi kelas berkuasa yang lebih mementingkan kenyamanan pribadi ketimbang kesejahteraan rakyat. Kenaikan tunjangan ini terjadi di tengah kondisi ekonomi rakyat yang rapuh, di mana angka kemiskinan masih menyentuh 9,03% atau sekitar 25 juta jiwa menurut data BPS. Kondisi ini menegaskan bahwa DPR hidup dalam menara gading, jauh dari realitas penderitaan rakyat.
Tindakan represif aparat juga menegaskan bahwa negara masih menempatkan rakyat sebagai objek subordinasi, bukan subjek yang berdaulat dalam sistem demokrasi. LMND Lampung menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah membela kepentingan rakyat pekerja dan kaum tertindas, melawan ketidakadilan yang dilanggengkan oleh rezim.
“Tragedi ini menunjukkan DPR gagal menjalankan fungsi sebagai representasi rakyat. Alih-alih mendengar aspirasi, mereka menutup telinga dan mengkhianati suara konstituen, bahkan menggunakan aparat sebagai alat penindasan,” ujar Dinda.
Politik yang seharusnya menjadi arena artikulasi kepentingan rakyat kini berubah menjadi medan transaksi kepentingan elit sempit. LMND Lampung menekankan bahwa rakyat tidak boleh berhenti bersuara, karena diam hanya akan memperkuat oligarki dan melemahkan demokrasi.
Dinda menambahkan, momentum kemarahan rakyat saat ini harus dijadikan bahan bakar untuk memperkuat persatuan. Korban jiwa dari driver ojek online dan luka-luka yang dialami mahasiswa menjadi alasan lebih kuat bagi gerakan rakyat untuk bersatu. Sejarah telah membuktikan bahwa represi tidak pernah berhasil menghentikan perjuangan, justru memperbesar tekad rakyat untuk melawan ketidakadilan.
LMND Lampung menyerukan agar seluruh kekuatan progresif memperluas basis organisasi, memperkuat solidaritas lintas sektor, dan membangun konsolidasi perlawanan yang berkesinambungan. Dengan DPR yang arogan, aparat yang represif, dan rakyat yang terus ditekan, situasi politik kini berada di titik kulminasi.
Kesadaran rakyat semakin menguat bahwa perubahan tidak akan datang dari atas, tetapi melalui gerakan di bawah yang terus bersatu dan menuntut keadilan. Jika jalur demokrasi dibungkam dengan kekerasan, rakyat akan menemukan jalan lain untuk memastikan aspirasi mereka didengar. Ketika kesadaran ini menjadi milik bersama, tidak ada kekuatan manapun yang mampu menghentikan arus perubahan besar yang sedang mengintip di depan mata.***