InsidePolitik–MUI Jateng akhirnya menarik fatwa terkait memilih calon kepala daerah (cakada) muslim.
Fatwa itu menuai protes banyak pihak, hingga akhirnya MUI Jateng mencabut surat fatwa, dan meminta umat tidak mempersoalkan lagi.
“Sudah kita minta cabut, tidak perlu dipersoalkan lagi,” kata Ketua MUI Jawa Tengah KH Ahmad Darodji.
Darodji menerangkan sejatinya MUI Jateng tidak pernah mengeluarkan fatwa soal calon kepala daerah, hanya menyikapi fatwa dari MUI pusat sebelumnya.
“Tidak melakukan tausiyah [kajian untuk penerbitan fatwa sendiri], tausiyah itu rencana akan ada tapi kita cabut, tidak jadi karena pusat sudah ada [fatwa sejenis]. Jadi itu ‘nguyahi segoro’ [mengarami lautan] dan mungkin tidak sesuai juga oleh karena itu fatwa MUI sudah ada di pusat sana,” jelas Darodji.
“Kita tidak mengeluarkan fatwa lagi, dan barang kali mungkin lebih bijaksana kalau [MUI] Jawa Tengah tidak mengeluarkan fatwa seperti yang keluar saat itu. [surat fatwa MUI Jateng] itu sudah saya minta untuk dicabut itu, karena itu nguyahi segoro, sudah ada di pusat kenapa kita dikeluarkan, saya minta itu dicabut,” tambahnya.
Sebelumya beredar foto atau tangkapal layar atas foto Surat fatwa MUI Jawa Tengah yang dikeluarkan pada 23 November 2024 merujuk pada Tausiah Kebangsaan MUI (Pusat) tentang Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2024 Nomor : Kep-74/DP-MUI/XI/2024.
Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) MUI Jawa Tengah atas fatwa itu bertempat di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang menghasilkan sejumlah poin:
1. Memilih dalam Pemilu adalah hak konstitusional . Demikian juga menggunakan hak pilih berdasarkan kecenderungan agama, suku dan kelompok.
2. Umat Islam wajib memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur terpercaya serta memperjuangkan kepentingan dan syiar Islam.
3. Memilih Pemimpin yang tidak seakidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seakidah hukumnya haram.
Surat fatwa MUI Jateng yang viral dan tersebar ke warga itu kemudian angsung menuai protes dari beberapa kalangan.
Pengasuh Pondok Pesantren Asshodiqiyah Semarang, KH Shodiq Hamzah menyebut merasa malu dengan munculnya fatwa MUI yang melarang masyarakat memilih calon pemimpin yang tidak seiman.
“Kalau kita sebagai umat Islam ya malu, tapi lebih malu kalau pemimpin muslim dalam rangka menjadi pemimpin orangnya amburadul dan korupsi, kan lebih malu lagi daripada pemimpin yang nonmuslim,” katanya.
Kiai Shodiq lebih lanjut menjelaskan kondisi jika pemimpin muslim korupsi sedangkan yang nonmuslim tidak serta bisa mengurus negara, maka diserahkan saja ke umat bakal memilih siapa.
“Pemimpin muslim amburadul dan korupsinya besar. Tapi nonmuslim bisa menata negara, kemaslahatan ada, ora tahu korupsi, nah kamu pilih yang mana?” , terang Kiai Shodiq.