INSIDE POLITIK- Di tengah dinamika pendidikan dan media di Bandar Lampung, Muhammad Alfariezie hadir sebagai sosok yang unik. Di siang hari, ia mengajar di SMK Samudera Bandar Lampung, sementara di malam hari ia menulis berita sebagai jurnalis muda di Bandarlampung\_Pikiranrakyat. Di sela aktivitas tersebut, Alfariezie menyalurkan kritik sosial melalui puisi yang ia sebut Realism Satire Puitis, atau secara personal dikenal sebagai Gaya Kritik Lampung.
Lulusan FTIK Universitas Teknokrat Indonesia yang pernah aktif di komunitas sastra Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS ini menekankan bahwa puisi adalah medium yang kuat untuk menyingkap ketidakadilan sosial. Bait-bait karya Alfariezie kerap menampilkan pertentangan tajam antara kemewahan pejabat dan kesulitan hidup rakyat kecil. Salah satu contoh paling menonjol adalah puisi berjudul *Bandar Lampung: 80 Miliar dan Sakitnya Rakyat Kecil*:
Teruslah bergerak tanpa mengindahkan undang-undang di dalam negeri hukum yang rakyatnya 283 juta orang
Uang puluhan miliar tak berlaku apapun di atas tanah yang bayi-bayinya busung lapar dan rumah sakitnya berjejal pasien yang muskil membeli dunkin donuts
Seperti di Bandar Lampung, walikotanya menyiakan uang mungkin hingga 80 miliar dan walikotanya mendapat support gubernur serta dewan untuk menentang presiden dan menteri rezim jenderal
Sementara mereka juga bebas naik turun mewah di sekitar warga yang seumur-umur enggak sanggup membeli pizza tapi langsung masuk penjara ketika mencuri kotak amal saja
Puisi tersebut mengandung lima teknik penulisan yang menjadi ciri khas Gaya Kritik Lampung, yang dapat dipelajari oleh pembaca maupun penulis muda.
Realism Satire
Bait pertama memanfaatkan realism satire, menekankan fakta dan angka sosial untuk menyampaikan kritik tegas. Kalimat seperti “Teruslah bergerak tanpa mengindahkan undang-undang di dalam negeri hukum yang rakyatnya 283 juta orang” langsung menyorot perilaku penguasa dengan cara lugas, tanpa basa-basi.
Ironi Metaforis
Pada bait kedua, Alfariezie menggunakan ironi metaforis, memadukan kemewahan dengan penderitaan rakyat. Contoh: “Uang puluhan miliar tak berlaku apapun di atas tanah yang bayi-bayinya busung lapar dan rumah sakitnya berjejal pasien yang muskil membeli dunkin donuts.” Kontras antara kemewahan donat dengan penderitaan bayi dan pasien rumah sakit menciptakan efek sindiran yang kuat.
Hipotetis / Spekulatif
Bait ketiga menonjolkan unsur spekulatif atau hipotesis: “Seperti di Bandar Lampung, walikotanya menyiakan uang mungkin hingga 80 miliar.” Kalimat ini menyisipkan dugaan kritis terhadap pengelolaan anggaran yang belum jelas, membangun kesan skeptisisme dan mengajak pembaca merenung.
Kontras/Pertentangan
Dalam bait keempat, perbedaan sosial diperkuat: “Sementara mereka bebas naik turun mewah di sekitar warga yang seumur-umur enggak sanggup membeli pizza.” Jurang antara pejabat dan rakyat kecil diilustrasikan secara jelas, membuat pembaca merasakan ketidakadilan sosial secara emosional.
Puitis Sosial
Keseluruhan puisi menampilkan puitis sosial, di mana kata-kata seperti “tanah yang bayi-bayinya busung lapar” berfungsi sebagai metafora untuk penderitaan rakyat. Metafora ini tidak hanya menyampaikan kritik, tetapi juga menggugah empati dan kesadaran sosial pembaca.
Sehari-hari, Alfariezie memadukan tiga dunia: kelas, redaksi, dan puisi. Aktivitas mengajar memberinya interaksi langsung dengan generasi muda, menulis berita memberikan data dan fakta yang valid, sementara menulis puisi memberinya kebebasan untuk mengekspresikan kritik secara kreatif.
“Jurnalisme memberi saya data, sedangkan puisi memberi saya kebebasan. Ketika digabung, lahirlah apa yang saya sebut Gaya Kritik Lampung,” ungkapnya. Ia menegaskan bahwa menulis adalah cara paling jujur untuk menyalurkan keresahan terhadap ketidakadilan yang ia saksikan setiap hari.
Gaya Kritik Lampung dari Muhammad Alfariezie bukan hanya sekadar bentuk ekspresi seni, tetapi juga media pendidikan sosial dan pengingat bagi publik untuk menyorot isu-isu penting di sekitar mereka. Dengan teknik yang unik dan keberanian menyuarakan fakta, puisi-puisi Alfariezie menjadi jendela bagi masyarakat memahami realitas sosial di Bandar Lampung secara kritis dan reflektif.***