INSIDE POLITIK – SMAN 1 Pringsewu, salah satu sekolah unggulan di kabupaten ini, tengah menjadi sorotan publik. Sekolah negeri yang dikenal berprestasi tersebut dituding bersikap diskriminatif dan merekayasa proses hukum untuk memaksa salah satu siswanya, Mic (17), pindah ke sekolah lain. Keluarga menilai tindakan tersebut tidak sesuai dengan etika pendidikan dan melanggar prinsip transparansi.
R. Andi Wijaya, SH, kakak Mic, menegaskan adiknya tidak pernah terlibat kasus narkoba, perkelahian, bullying, maupun tindakan kriminal lainnya. “Masalahnya hanya ketertinggalan pelajaran. Memaksa orang tua membuat surat seolah-olah menarik anak secara sukarela itu tidak pantas. Ini memberi contoh buruk dan membiasakan rekayasa di dunia pendidikan,” ujar Andi, Rabu 13 Agustus 2025.
Situasi memanas ketika Mic hendak mengambil tas dan buku pelajaran, namun pihak guru menahan barang-barang tersebut. Padahal, Mic sudah dijadwalkan mulai belajar di SMA Xaverius Pringsewu sejak 11 Agustus 2025. Penahanan barang ini dinilai keluarga sebagai tindakan yang menghalangi hak anak untuk memperoleh pendidikan. Barang tersebut baru bisa diambil pada 12 Agustus 2025.
Ayah Mic, Andre, menjelaskan bahwa pada 2 Agustus 2025 pihak sekolah memanggil orang tua dan menyatakan tidak sanggup lagi membimbing Mic karena ketertinggalan pelajaran. Keluarga menerima keputusan itu dan mencari sekolah baru. Namun pada 8 Agustus 2025, ketika meminta surat resmi keterangan dikeluarkan, pihak sekolah justru menawarkan skenario bahwa orang tua menarik anak secara sukarela. “Kami melihat ini sebagai upaya menghindari tanggung jawab moral maupun administratif,” tegas Andre.
Mic sendiri merupakan siswa kelas XII yang aktif dalam ekstrakurikuler basket dan pernah membawa tim sekolah meraih juara tingkat provinsi. Menurut keluarga, kesibukan latihan dan pertandingan menjadi salah satu penyebab ketertinggalan akademiknya, bukan karena pelanggaran disiplin.
Pihak SMAN 1 Pringsewu melalui laporan yang disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, memberikan klarifikasi bahwa pembinaan terhadap Mic sudah dilakukan sejak kelas XI. Langkah tersebut melibatkan guru mata pelajaran, guru BK, wali kelas, hingga wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, namun tidak menunjukkan perubahan signifikan.
Sekolah menegaskan bahwa standar akademik harus dijaga dan mayoritas siswa mampu mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Namun kasus ini memunculkan perdebatan publik mengenai batas kewenangan sekolah negeri dalam mengeluarkan siswa karena alasan akademik, mengingat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjamin hak pendidikan tanpa diskriminasi.
Pengamat publik, Hengki Irawan, SH, menilai sekolah negeri memiliki tanggung jawab memberikan pembinaan maksimal kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, bukan sekadar mengeluarkan mereka. Sementara Pengacara Publik Pendidikan, Ganto Almansyah, SH, menyoroti kebiasaan sekolah membuat surat pernyataan yang tidak memiliki kekuatan hukum jika dibuat oleh anak di bawah umur. Ia menilai praktik seperti ini bertentangan dengan UU Perlindungan Anak dan UU Pendidikan Nasional.
Menurutnya, lembaga pendidikan harus mengedepankan transparansi dan menjadikan setiap kebijakan sebagai upaya pemenuhan hak konstitusional siswa. Wewenang sekolah untuk mendidik seharusnya didasarkan pada komitmen mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menghindar dari tanggung jawab melalui rekayasa administratif.***