INSIDE POLITIK- Prinsip bahwa setiap orang sama di mata hukum tampaknya tidak berlaku ketika berbicara tentang dana bagi hasil migas atau PI 10%. Di Lampung, mekanisme yang sama persis dengan daerah lain justru berubah menjadi perkara hukum yang menyeret komisaris dan direksi PT Lampung Energi Berjaya (LEB). Padahal di provinsi lain, langkah serupa justru menjadi kebanggaan dan simbol kemandirian energi daerah.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung menegaskan bahwa kasus ini dijadikan role model dalam pengelolaan dana migas. Namun, publik menilai langkah tersebut justru menghadirkan ironi: bagaimana mungkin “percontohan” dibuat dengan mengorbankan satu pihak yang justru mengikuti aturan yang berlaku?
Kasus ini pun menimbulkan pertanyaan besar: apakah hukum benar-benar ditegakkan dengan objektif, atau ada kepentingan politik yang membayangi di balik penegakan aturan?
Ketika Lampung Dihukum, Daerah Lain Justru Dipuji
Secara hukum, setidaknya ada tiga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) lain yang memiliki pola pengelolaan identik dengan PT LEB. Mereka berada di Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur. Ketiganya juga menerima dana PI 10% dari SKK Migas, bekerja sama dengan Pertamina Hulu, dan membagikan dividen ke daerah melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Namun, tidak satu pun dari mereka pernah diperiksa atau diproses hukum. Di Lampung, mekanisme yang sama justru disebut pelanggaran pidana. Pertanyaannya: mengapa hanya Lampung yang dianggap salah, sementara daerah lain dipuji karena tata kelola yang sama?
Apakah ini sekadar kebetulan, atau karena momentum politik di Lampung saat itu sedang panas dan melibatkan figur-figur kuat yang sedang bersaing?
Studi Kasus I: Riau Petroleum – Aman, Sah, dan Teruji
Riau Petroleum adalah penerima PI 10% untuk wilayah kerja Rokan. Berdasarkan keputusan SKK Migas dan persetujuan Menteri ESDM, dana PI disalurkan langsung oleh Pertamina Hulu Rokan (PHR) ke rekening perusahaan. Pembagian laba dilakukan melalui RUPS, di mana Pemerintah Provinsi Riau menjadi pemegang saham utama.
Audit keuangan dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Kantor Akuntan Publik independen. Tidak ada dana yang harus disetorkan langsung ke kas daerah, karena sesuai prinsip keuangan migas, dana tersebut merupakan pendapatan korporasi, bukan dana publik.
Tidak pernah ada kriminalisasi terhadap pengelola Riau Petroleum. Pemerintah pusat bahkan menjadikannya contoh pengelolaan BUMD energi yang profesional dan transparan.
Studi Kasus II: Migas Hulu Jabar (MUJ ONWJ) – Transparansi dan Kepatuhan
Migas Hulu Jabar (MUJ) didirikan berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Barat dan ditunjuk SKK Migas sebagai penerima PI 10% Wilayah Kerja Offshore North West Java (ONWJ). Pendapatannya berasal dari bagi hasil produksi Pertamina Hulu Energi ONWJ.
Pembagian dividen kepada Pemprov Jawa Barat dilakukan melalui BUMD induknya, PT Migas Hulu Jabar. Setiap keputusan keuangan disahkan melalui RUPS dan diaudit secara terbuka. Tidak ada satu pun aturan yang mewajibkan dana masuk langsung ke kas daerah.
Karena mengikuti ketentuan lex specialis dalam sektor migas, yakni aturan khusus yang mengatur keuangan korporasi berbeda dari keuangan publik, MUJ tidak pernah menjadi objek penyidikan. Keberadaannya justru memperkuat posisi Jawa Barat sebagai daerah dengan tata kelola energi terbaik di Indonesia.
Studi Kasus III: Migas Mandiri Pratama Kutai Timur (MMP-KT) – Dari Dana Migas Jadi Prestasi
PT MMP-KT di Kalimantan Timur juga memiliki peran serupa. Berdasarkan surat Dirjen Migas, perusahaan ini ditunjuk sebagai penerima PI 10% Wilayah Kerja Mahakam. Dana disalurkan dari Total E&P dan Pertamina Hulu Mahakam langsung ke rekening perusahaan.
Dari laba bersih yang diperoleh, pembagian keuntungan dilakukan melalui keputusan RUPS. Sebagian laba digunakan untuk operasional dan cadangan usaha, sesuai dengan Prinsip Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Menariknya, bukan hanya tidak terseret kasus hukum, MMP-KT justru menerima penghargaan dari SKK Migas karena dinilai berhasil menjalankan tata kelola perusahaan yang patuh terhadap regulasi dan akuntabel.
PT LEB: Dari Korporasi Jadi “Kambing Hitam”?
Jika dibandingkan secara hukum, struktur PT LEB identik dengan tiga BUMD di atas. Mekanisme pembagian, audit, dan prosedur pengelolaan dana pun sama. Namun hanya di Lampung kasus ini berujung pidana.
Hal ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa penegakan hukum terhadap PT LEB tidak murni berdasarkan norma hukum, melainkan dipengaruhi oleh tafsir yang bias atau bahkan tekanan politik tertentu.
Apalagi, dalam proyek PI 10% ini, PT LEB tidak bekerja sendiri. Mereka berbagi pengelolaan dana dengan BUMD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, masing-masing 5%. Anehnya, hanya Lampung yang diproses hukum, sementara DKI tidak tersentuh sama sekali.
Pertanyaan pun mencuat: apakah Lampung dijadikan kelinci percobaan dalam tafsir hukum pengelolaan dana migas? Atau ini sekadar permainan politik di balik layar kekuasaan daerah?
Ketimpangan yang Perlu Dikoreksi
Dari tiga studi kasus tersebut, terlihat jelas adanya ketimpangan penerapan hukum dalam pengelolaan dana PI 10%. Satu mekanisme yang sama dipandang sebagai bentuk inovasi dan kemandirian daerah di satu tempat, namun dianggap pelanggaran di tempat lain.
Padahal, esensi dana PI 10% adalah untuk memberikan ruang bagi daerah penghasil migas untuk menikmati hasil alamnya secara adil. Namun di Lampung, keinginan itu justru dibalas dengan jerat hukum.
Publik pun kini menuntut transparansi dan keadilan. Pemerintah pusat perlu turun tangan untuk menyamakan tafsir hukum terkait PI 10%, agar tidak ada lagi daerah yang dijadikan korban dari inkonsistensi kebijakan.
Jika hukum memang benar untuk semua, maka sudah seharusnya perlakuan terhadap PT LEB sama dengan BUMD lain. Karena keadilan tidak boleh bergantung pada siapa yang berkuasa, melainkan pada kebenaran yang objektif dan aturan yang konsisten.
Kasus PT LEB bukan hanya soal hukum migas, tetapi juga cerminan rapuhnya konsistensi penegakan hukum di daerah. Ketika satu provinsi dihukum karena mengikuti aturan yang sama, sementara provinsi lain dipuji dengan pola identik, maka yang rusak bukan hanya kepercayaan terhadap hukum, tapi juga semangat otonomi daerah yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakatnya sendiri.***




















