Lamteng–Sejak berangkat menuju kantor KPU Lamteng, wajah Sukiman (53) selalu sumringah. Bersama ratusan pendukung pasangan Ardito Wijaya-Komang Koheri lainnya, Sukiman mengantarkan pemimpin pilihannya itu mendaftar sebagai pasangan calon.
“Lego tenanan. Mas Dito akhire iso melu pilkada,” ujarnya.
Pendukung Ardito wajar ketar-ketir, karena pasangan Ardito-Koheri baru dapat rekom dari PDIP justru di menit-menit akhir, itupun setelah ada putusan dari MK yang memberikan jalan buat PDIP bisa mengusung calon sendiri di Pilkada 2024.
Di atas kertas pula, Ardito memang tak diunggulkan.
Masalah makin kompleks mana kala Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tempat Ardito bernaung justru menjatuhkan pilihan ke pasangan Musa-Ahsan. Padahal, idealnya Ardito yang jauh lebih layak menerima rekomendasi dari PKB.
Apalagi, perolehan kursi PKB di Pileg 2024 lalu, naik dua kursi dibanding 2019, dari 6 kursi jadi 8. Ada kiprah Dito disana.
Pun dengan Gerindra. Meski Mirza adalah sejawat, tapi keputusan elit Partai Gerindra soal siapa yang diusung di Pilkada Lamteng memang mutlak, teman satu almamaternya itu tentu tak bisa mempengaruhinya.
Apalagi, pesaingnya memborong habis rekomendasi partai lain. Musa hampir punya semua; kekuasaan, logistik hingga pengaruh.
Ndilalahnya, di saat pendukungnya was-was setengah mati, yang di-rasani malah santai setengah mati.
Meski pelik, Ardito santai melihat kontestasi.
Ia tipikal pembelajar yang apik. Seperti kata ibunya, Heriyanti Pairin,”Ardito itu pembelajar. Ia mengamati untuk bisa memahami”.
Di saat lawannya pontang-panting cari simpati, sampai sibuk memanfaatkan kuasa, Ardito justru menikmati permainan. Ia bersenda gurau dengan rakyatnya, tak ada sekat apalagi jarak, luwes.
Jalan Ardito di pilkada, ibarat hancurnya jalan di Bangunrejo dan Kalirejo, berat. Ditambah lagi, kebanyakan aparatur sipil di Lamteng condong ke lawan.
Tapi Dito bukan tipikal orang yang tak suka mencoba. Ia pantang pulang sebelum menang, kalkulasinya sudah matang. Dan, itu terbukti di 27 November 2024 lalu, suaranya unggul jauh dari Musa-Ahsan, dan bebas dari pelanggaran.
Dengan suara hingga 63,71 persen, nyaris tak ada celah untuk menggugatnya. Tingginya suara Dito-Koheri ini, jadi bukti simpati dan harapan rakyat, yang selama ini tak dimiliki oleh Musa-Ahsan.
Buat masyarakat Lamteng, Ardito memang ‘jalan tengah’. Rakyat sudah komit, jika Mas Dito kundur, maka pilihannya tak memilih atau coblos kotak kosong sisan.
Rakyat Lamteng kadung kesal. Jalan rusak, harga singkong anjlok hingga pembangunan yang stagnan adalah akumulasinya.
Seusai terpilih, Dito memang jadi jalan tengah yang diharapkan bisa menyeimbangkan antara kelebihan dan kekurangan dari Lampung Tengah.
Sekaligus, jadi jalan tengah solusi dari rumitnya masalah Lamteng saat ini, yang butuh cepat untuk diurai oleh tangannya.
Belum dilantik saja, ia sudah gagas sana-sini. Mulai dari Lamteng Berbenah sampai Kampung Berdikari.
Ia gandeng Payungi yang sukses di Kota Metro. Salah satu visinya mau mengembangkan creative hub di Lamteng.
Ia juga sowan pendapat ke karibnya Umar Ahmad, yang konsepnya berhasil mengembangkan Tulangbawang Barat.
Tujuannya, biar masyarakat Lamteng ora getun, ora salah pilih.”Wis di coblos kok malah ninggalke!”.
Apalagi ia orang Lamteng asli. Kelamtengannya tak perlu diragukan lagi. Darah pengabdian mengalir dari ayahnya, almarhum Pairin.
Pernah bertugas sebagai dokter di daerah terpencil di Lamteng membuat Dito paham betul permasalahan Lamteng sesungguhnya, bukan hanya di tengah saja, tapi juga hingga ke pinggiran Lamteng.
Visinya yang matang, ia balut dengan ritme kerja yang ringkas, sat set. Untuk hiburan, sesekali ia tingkahi dengan bernyanyi.
Ia jadi pemimpin yang kontekstual. Di milenial nyambung, di tua-tua kampung ia angken. Prinsipnya memersatukan semua lapisan sosial.
Sampai lima tahun ke depan, Mas Dito di Lampung Tengah. Ia harus bisa menjabarkan visinya, bukan cuma sekedar omon-omon, biar dukungan rakyat Lamteng pada pilkada serentak lalu tak sia-sia, seperti yang kemarin-kemarin itu.