INSIDE POLITIK- Kasus PT LEB yang menyeret tiga direksinya sebagai tersangka dugaan korupsi kini menjadi sorotan publik nasional. Penanganannya yang sudah berlangsung hampir satu tahun menimbulkan banyak pertanyaan: apakah benar ada kerugian negara ataukah hanya miskomunikasi regulasi?
Kasus ini berpusat pada dana Participating Interest (PI) 10% dari kontraktor migas, yang menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya bisa dituduh jika ada perbuatan yang jelas merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Namun logikanya, dana PI 10% berasal dari bagi hasil kontraktor migas, bukan APBD maupun APBN. Fakta menunjukkan sebagian besar dana bagi hasil ini telah masuk ke kas Pemerintah Provinsi Lampung.
Publik pun bertanya-tanya: apakah direksi PT LEB melanggar hukum saat menggunakan sisa dana untuk membayar gaji karyawan dan kebutuhan operasional perusahaan? Sampai saat ini, belum ada temuan konkret yang menunjukkan prosedur pengelolaan PI 10% di PT LEB melanggar aturan, baik secara formal maupun abstrak.
Regulasi terkait pun tampak samar. Dalam PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi hanya disebutkan mekanisme penawaran PI 10% dan pernyataan kesanggupan minat BUMD. Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 pun hanya mengatur penawaran PI 10% tanpa rincian penggunaan atau pengelolaan dana. Bahkan Pergub dan Perda Lampung tidak memuat aturan soal pengelolaan aliran dana PI 10%.
Lantas, apa dasar hukum Kejati Lampung menyangka terjadi kerugian negara atau perekonomian negara? Pertanyaan ini makin krusial mengingat kasus ini disebut sebagai “role model” penanganan hukum atas dana PI 10%, yang oleh masyarakat biasa disebut “kelinci percobaan.” Publik menuntut transparansi prosedur penggunaan dana bagi hasil migas di BUMD, agar tidak ada kebingungan serupa di masa depan.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BUMD dan induk BUMD menjadi kunci untuk menelusuri aliran dana dan menilai apakah keputusan PT LEB sesuai praktik BUMD di Indonesia. Kasus ini menunjukkan perlunya regulasi yang lebih jelas dan spesifik agar pengelolaan dana PI 10% tidak menimbulkan polemik hukum dan publik.
Sementara itu, pengamat hukum dan ekonomi menyoroti fenomena ini sebagai ujian bagi Kejati Lampung: bagaimana menegakkan hukum secara tegas tanpa mengorbankan prinsip legalitas yang jelas. Kasus PT LEB pun menjadi catatan penting bagi seluruh BUMD di Indonesia dalam mengelola dana bagi hasil migas agar tetap sesuai hukum dan transparan bagi publik.***




















