InsidePolitik–Munculnya nama Jokowi, Gibran dan Bahlil sebagai kandidat Ketum Golkar dianggap kecil peluangnya, karena AD/ART Partai Golkar mensyaratkan kandidat ketum memiliki syarat minimal pernah jadi pengurus.
Menurut Ketua Dewan Pakar Partai Golkar HR Agung Laksono bahwa siapapun yang akan mencalonkan sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar definitif harus dari kalangan pengurus.
Pernyataan Agung Laksono ini juga merespons isu bahwa politikus Golkar sekaligus Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, hingga Gibran dan Jokowi disebut bakal mengincar jabatan ketum definitif.
“Ya, pernah jadi pengurus yang siap secara riil, secara sah, pernah jadi pengurus pusat, maupun daerah, itu bisa diterima menjadi ketua umum. Walaupun tidak otomatis, tapi itu persyaratan,” kata Agung saat dihubungi, hari ini.
Bahlil, kata dia, juga bukan merupakan pengurus Golkar di pusat maupun daerah. Bila Bahlil maju pencalonan, maka berpotensi gugur. “Jadi kita tidak bisa menerima calon ketua umum yang tidak pernah duduk sebagai pengurus, apakah pengurus pusat atau daerah. Itu nanti akan gugur dalam seleksi,” ujar Agung.
Agung enggan berbicara lebih jauh perihal isu kepastian Bahlil bakal jabat ketum definitif tersebut. Karena hal itu butuh melihat dinamika ke depan. “Iya kita belum tahu, kita liat ke depan,” ujar Agung.
Dalam profilnya, Bahlil diketahui pernah menjadi anggota Partai Golkar dan Wakil Sekretaris AMPG Papua.
Sedangkan dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar untuk menjadi ketua umum adalah harus memiliki pengalaman aktif di dalam partai serta memegang posisi pimpinan selama minimal lima tahun.
Jabatan pertama yang Bahlil emban adalah wakil sekretaris Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Papua. Saat itu AMPG pertama kali dibentuk di bawah kepemimpinan Ketum DPP Golkar Akbar Tandjung.
Sementara itu, Agus Gumiwang disebut bakal memegang posisi Plt Ketum Golkar dan Bahlil Lahadalia menjadi ketua umum definitif melalui keputusan musyawarah nasional (Munas).