InsidePolitik–Selamat datang pemimpin baru Lampung…
Tahun baru 2025, Lampung akan dipimpin oleh banyak pemimpin baru, termasuk di Provinsi Lampung dan 9 kabupaten/kota plus 2 kabupaten lainnya.
Provinsi Lampung dipastikan akan memiliki pemimpin baru, RMD-Jihan, yang mengalahkan Arinal-Sutono.
Demikian pula di Lamsel, Egi Radityo-Syaiful juga akan memimpin Lamsel, tanah kelahiran mertuanya Zulkifli Hasan.
Di Tulangbawang, Qudrotul Ikhwan juga akan menggantikan petahana Winarti yang gagal untuk mempertahankan periode keduanya.
Ardito Wijaya-Komang Koheri juga menang telak di Lamteng meruntuhkan kesombongan petahana Musa Ahmad yang sempat sesumbar memenangkan Pilkada Lamteng.
Dawam Raharjo yang maju secara dramatis juga tak berhasil melanjutkan periode keduanya, ia kalah dari pasangan Ela-Azwar yang disokong Nunik.
Pasangan Wahdi-Qomaru juga kalah dari Bambang-Rafieq melalui drama panjang sebelum hari pencoblosan berlangsung.
Di Tanggamus, Dewi Handajani juga harus melepas jabatannya ke Saleh Asnawi yang menang telak di Pilkada Tanggamus.
Di Lampung Utara juga akan ada pemimpin baru, pasangan Hamartoni-Romli berhasil mengalahkan petahana Ardian Saputra.
Demikian pula di Pringsewu, petahana Fauzi kalah dari pasangan Riyanto-Umi yang nyaris tak diunggulkan di Pilkada Pringsewu.
Selain para petahana, ada dua istri petahana yang kalah. Mereka adalah istri petahana Bupati Pesawaran Dendi Ramadona, Nanda Indira Bastian dan istri petahana Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Septi Heri Agusnaeni.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrawansah mengatakan, fenomena tumbangnya petahana ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Di mana kinerja yang tidak memenuhi ekspektasi masyarakat menjadi alasan utama kekalahan.
“Lambatnya pembangunan, kurang optimalnya pelayanan publik, atau kegagalan menyelesaikan isu-isu lokal sering memicu ketidakpuasan. Selain itu, calon baru yang menawarkan program atau visi yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dapat dengan mudah mengalihkan dukungan pemilih. Kandidat yang dianggap lebih segar dan inovatif sering kali menjadi daya tarik utama bagi pemilih,” tuturnya.
Candrawansah juga menyoroti pentingnya strategi kampanye yang efektif. Komunikasi yang lemah dengan masyarakat, minimnya pemanfaatan media sosial terutama karena pemilih Gen Z dan milenial cukup signifikan, serta lemahnya koordinasi tim sukses bisa menjadi faktor kekalahan.
Di sisi lain, ia mencatat adanya fenomena antiincumbent di beberapa daerah, di mana masyarakat memiliki kecenderungan untuk mencari pemimpin baru sebagai bentuk protes terhadap situasi saat ini, meskipun tidak sepenuhnya disebabkan oleh kinerja petahana.
Ia juga menambahkan bahwa perpecahan internal partai pengusung turut berkontribusi besar terhadap tumbangnya incumbent. Ketika partai tidak solid dalam mendukung calon, hanya sekadar formalitas tanpa diikuti struktur yang utuh, hasilnya tentu mengecewakan.
Candrawansah menilai bahwa kekalahan dengan selisih suara yang signifikan menunjukkan tingkat ketidakpuasan masyarakat yang sangat tinggi terhadap kepemimpinan petahana.
“Jika petahana kalah dengan persentase yang jomplang, hal ini mencerminkan betapa masyarakat menginginkan perubahan besar,” demikian Candrawansah.