InsidePolitik—Karena bersifat pasif, DKPP mengakui tak bisa memeriksa pelanggaran kode etik dalam penggunaan jet pribadi dan apartemen KPU.
Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lukito karena DKPP bersifat pasif sehingga baru bisa memeriksa dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu, jika ada laporan atau pengaduan.
“Tadi seperti pertanyaan soal private jet apa segala macam itu tadi kan. Kalau enggak ada pengaduan, DKPP enggak bisa memeriksa. Ya kalau pernyataan-pernyataan publik, ya silakan saja, tetapi DKPP tidak bisa bergerak kalau tidak ada pengaduan. Itu saja poinnya,” ujar Heddy.
Menurut Heddy, sifat pasif DKPP merupakan amanat peraturan perundang-undangan.
Dia mengatakan, hal tersebut bisa berubah jika pemerintah dan DPR merevisi UU Pemilu sehingga DKPP bisa bergerak aktif mengusut dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tanpa menunggu aduan dari masyarakat atau peserta pemilu.
“Iya pasif, enggak bisa ngapa-ngapain. Undang-undang tidak memungkinkan kami untuk aktif gitu saja. Undang-undang sudah menyatakan pasif dan ya memang harus pasif, enggak boleh aktif. Ini lembaga peradilan etik kok. Kalau aktif kan jadi berlawanan dengan etika peradilan,” jelas Heddy.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR Fraksi Demokrat Reska Oktoberia, mencecar para anggota KPU terkait evaluasi penggunaan anggaran KPU selama ini.
Reska menyinggung sejumlah kegiatan KPU selama ini yang dinilai tidak efisien dan efektif serta berujung pada pemborosan anggaran, seperti pilihan tinggal di apartemen sementara rumah dinas disediakan, penggunaan private jet hingga pembuatan film terkait pemilu.
Hal ini disampaikan Reska dalam rapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan BPIP soal usulan anggaran tahun 2024 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024). Dalam rapat tersebut, hadir ketua KPU Mochammad Afifuddin dan jajaran komisioner lainnya.
“Saya ingatkan terakhir kali, tolong, kalau tidak akan mau menggunakan rumah dinas, jangan komisioner tinggal di apartemen karena apartemen juga dibiayai oleh APBN, rumah dinas perawatannya juga dari APBN, pemborosan,” ujar Reska.
Reska menilai alasan KPU mengada-ada dengan menyebutkan bahwa tinggal di apartemen untuk memperlancar kegiatan pemilu yang padat. Terkait hal itu, dia meminta anggota KPU segera meninggalkan apartemen dan tinggal di rumah dinas atau tinggal di apartemen dengan biaya pribadi, bukan APBN.
“Kalau masih ada yang tinggal di apartemen, tolong tutup cepat apartemennya! Anggarannya diberikan untuk kepentingan yang lain. Kalau masih mau tinggal di apartemen, bayar dengan dana pribadi masing-masing sendiri,” tegas dia.
Reska juga sempat menyinggung pengunaan private jet oleh KPU pada Pemilu 2024. Alasannya, Reska mengaku sudah mempertanyakan hal tersebut saat konsinyering Komisi II DPR dengan KPU pada Mei 2024, tetapi jawaban tertulis KPU tidak memuaskan dan sekadar seadanya.
“Saya tidak menemukan jawaban yang tepat di dalam pertanyaan saya. Contoh, menggunakan private jet untuk supervisi dan monitoring KPU ke Bali anggarannya berasal dari APBN. Monitoring logistik, komisioner yang membidangi logistik saja tidak ikut, itu satu. Penggunaannya (private jet) juga bukan sekali,” ungkap Reska.
Tak sampai di situ, Reska juga menyoroti langkah KPU membuat film terkait sosialisasi gelaran pemilu. Menurut Reska, langkah tersebut tidak terlalu efektif karena hanya menghabiskan uang dengan dampak yang kecil.
“Saya mau bertanya dahulu ini terkait dengan film yang dibuat oleh KPU, ini filmnya sudah dua. Pertama, (judulnya) Kejarlah Janji. Kedua, Tagihlah Janji. Kita enggak tahu nih apa akan ada lagi film ketiga, keempat, atau berikutnya,” tutur dia.