INSIDE POLITIK- Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran yang kini tengah digodok DPR dan pemerintah kembali menyita perhatian publik. Regulasi ini bukan sekadar menyangkut industri media, tetapi juga menyentuh sendi-sendi penting dalam kehidupan demokrasi, khususnya terkait kebebasan pers, peran lembaga penyiaran, dan pengawasan konten di ruang publik. Wacana ini memunculkan polemik karena sejumlah pasal dianggap rawan mengancam independensi jurnalisme dan membuka peluang terjadinya pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Salah satu poin krusial yang diperdebatkan adalah ketentuan mengenai kewenangan pengawasan konten oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pasal-pasal yang mengatur peran KPI dinilai memberi ruang terlalu luas untuk menafsirkan batasan konten, sehingga berpotensi memicu tindakan represif terhadap karya jurnalistik maupun program hiburan yang dianggap sensitif. Banyak pihak menilai, jika hal ini tidak dipertegas, KPI bisa berperan sebagai “sensor baru” yang menggerus kemerdekaan pers.
Selain itu, RUU ini juga menyentuh ranah penyiaran digital yang semakin berkembang pesat di era teknologi informasi. Pengaturan mengenai platform over the top (OTT) seperti YouTube, Netflix, dan layanan serupa, menjadi sorotan utama. Rancangan aturan yang terlalu ketat dikhawatirkan akan membatasi kreativitas pembuat konten sekaligus menghambat iklim investasi di sektor digital. Padahal, sektor ini justru menjadi peluang besar dalam mendukung ekonomi kreatif nasional.
Di sisi lain, pemerintah dan DPR berdalih bahwa RUU Penyiaran dirancang untuk merespons perubahan zaman. Argumen yang muncul adalah kebutuhan untuk memperkuat perlindungan terhadap masyarakat dari maraknya hoaks, ujaran kebencian, hingga konten berbau radikalisme dan pornografi. Regulasi yang lebih tegas dianggap penting untuk menjaga tatanan sosial dan melindungi generasi muda dari dampak buruk penyiaran yang tidak terkendali.
Meski begitu, kalangan jurnalis, akademisi, hingga pegiat hak asasi manusia menekankan bahwa upaya menjaga moral publik tidak boleh dilakukan dengan cara membatasi kebebasan pers. Pers yang independen merupakan salah satu pilar demokrasi yang tidak bisa ditawar. Jika regulasi dibuat tanpa pertimbangan matang, dikhawatirkan media justru akan kehilangan peran kritisnya dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan menyuarakan kepentingan rakyat.
Polemik ini mencerminkan tarik ulur kepentingan antara menjaga kebebasan berekspresi dengan kebutuhan pengaturan demi ketertiban. Apabila tidak diatur secara proporsional, RUU Penyiaran bisa menjadi pisau bermata dua: di satu sisi memberikan payung hukum yang lebih kuat untuk penyiaran modern, namun di sisi lain berpotensi mengekang kebebasan berpendapat yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
Ke depan, proses pembahasan RUU Penyiaran memerlukan keterlibatan publik secara luas. Transparansi dalam merumuskan pasal-pasal krusial, serta keterlibatan jurnalis, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat sipil, menjadi kunci agar regulasi ini tidak hanya berpihak pada kepentingan politik, tetapi benar-benar mampu menjawab tantangan zaman sekaligus melindungi hak-hak demokratis warga negara.***