InsidePolitik–KIM Plus sempat hura-hura menjegal dan menutup langkah PDIP di Pilkada Serentak 2024 termasuk menghadang langkah Anies di Pilkada Jakarta. Namun, pada akhirnya berujung huru hara akibat besarnya gelombang tekanan rakyat terhadap sikap brutal DPR yang berupaya membegal putusan MK.
Skenario KIM Plus bermula dari dinamika jelang Pilkada Jakarta dimulai dari pembentukan Koalisi Indonesia Maju atau KIM Plus untuk menjegal Anies Baswedan dan PDIP.
Skenario disiapkan dengan menggiring agar Ridwan Kamil-Suswono hanya melawan kotak kosong hingga munculnya calon boneka.
Upaya menjegal Anies yang punya elektabilitas tinggi di Pilkada Jakarta melalui pembentukan koalisi obesitas, KIM Plus.
Elit-elit partai yang ada di Koalisi Indonesia Maju diduga melobi partai-partai pendukung Anies Baswedan untuk berhenti memberikan dukungannya.
Hal ini menjadi manuver di tengah koalisi parpol mengusung Anies Baswedan yang tak kunjung terbentuk.
KIM Plus ini merujuk pada bergabungnya sejumlah parpol di luar Koalisi Indonesia Maju sehingga kelak hanya akan ada pasangan Cagub Cawagub tunggal di DKI Jakarta.
Koalisi tersebut merupakan parpol yang mengusung Prabowo Subianto di Pilpres 2024 yang terdiri dari 9 partai.
Terdapat 3 partai non KIM yang kemudian bergabung, yakni Nasdem, PKB dan PKS, sehingga berubah menjadi KIM Plus.
Nasdem resmi bergabung dengan KIM pada Kamis, 15 Agustus 2024 lewat pertemuan antara Prabowo Subianto dengan Surya Paloh.
Diikuti PKB dan PKS. Lucunya, PKS yang awalnya konsisten di jalur oposisi mulai tergiur dengan jabatan meski hanya diganjar jabatan cawagub di Pilkada Jakarta.
Sementara itu PDIP mengkritik wacana KIM Plus, apalagi pasangan dari jalur perseorangan yakni; Dharma Pongrekun-Kun Wardana disebut sebagai calon boneka.
Meski ada ratusan laporan pencatutan NIK oleh pasangan Dharma-Kun namun KPU Jakarta tetap meloloskan pasangan perseorangan itu.
Langkah KIM Plus ini juga untuk menutup peluang PDIP agar tak bisa mengusung kandidat sendiri khususnya di Pilkada Jakarta, karena tak punya kawan koalisi.
Rupanya, skenario KIM Plus juga diterapkan di sejumlah provinsi, seperti di Sumut, Jatim termasuk di Pilgub Lampung.
KIM Plus berupaya menggiring agar kandidat yang mereka usung agar hanya melawan kotak kosong karena khawatir kalah.
Kotak kosong merupakan istilah saat calon tunggal tidak memiliki pesaing sehingga dalam surat suara posisi lawan dinyatakan dalam kotak kosong.
Dalam kotak kosong, calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan lebih dari 50 persen suara sah.
Ketika itu, KIM Plus benar-benar hura-hura karena sudah berada di atas angin, dan yakin bakal menguasai hampir seluruh provinsi strategis melalui skenario lawan kotak kosong untuk menutup peluang PDIP.
Angin Perubahan dari Mahkamah Konstitusi
Sampai kemudian, angin perubahan dan munculnya huru hara ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan dua putusan yang membuyarkan mimpi KIM Plus di Pilkada Serentak 2024.
Rentetan peristiwa dimulai dari putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan Partai Garuda terkait aturan batas minimal usia calon gubernur dan wakil gubernur 30 tahun.
Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputuskan Majelis Hakim pada Rabu, 29 Mei 2024.
Dengan putusan itu, MA mengubah ketentuan dari yang semula cagub dan cawagub minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon.
MA pun memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tersebut.
Kemudian, pada 27 Juni 2024, Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur ambang batas 25 persen.
Gugatan itu diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora karena merasa ada hak konstitusional yang dirugikan.
Di sisi lain, mereka mengaku mendapat suara yang signifikan meski belum memperoleh kursi DPRD di beberapa tempat.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora pada Selasa (20.8).
Hakim memutuskan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
MK juga menolak gugatan pengubahan penentuan syarat usia minimum dalam Undang-Undang Pilkada. Ketetapan itu dituangkan dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024.
Dengan begitu, MK ingin usia calon gubernur dan calon wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung saat penetapan calon kepala daerah.
DPR RI melalui Baleg kemudian membuat manuver yang berupaya menganulir putusan MK. Baleg DPR menggelar pembahasan Revisi UU Pilkada, dengan dua poin revisi itu tidak merujuk pada putusan MK.
Terkait ambang batas, DPR sepakat partai yang punya kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya. Padahal, putusan MK telah menggugurkan syarat tersebut.
Kemudian soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di pasal 7. Baleg memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) dibandingkan MK. Dengan demikian, batas usia calon gubernur ditentukan saat pelantikan calon terpilih.
Manuver itu kemudian menuai protes masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis, buruh, mahasiswa, hingga selebritas. Netizen juga turut menyuarakan keresahan mereka di media sosial.
Melihat sikap brutal DPR dan pemerintah itu, rakyat kemudian marah dan menyerukan gerakan peringatan darurat sebagai bentuk perlawanan kepada DPR dan pemerintah.
Gelombang protes itu meluas imbas munculnya tagar #KawalPutusanMK dan unggahan foto siaran peringatan darurat berwarna biru. Foto itu pun membanjiri media sosial dalam beberapa jam terakhir.
Reaksi masyarakat berlanjut dengan aksi unjuk rasa menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di berbagai daerah pada Kamis (22/8). Di Jakarta, aksi itu berpusat di Gedung DPR RI dan Gedung MK.
Unjuk rasa juga berlangsung di daerah lainnya, seperti Yogyakarta lewat Gejayan Memanggil, di Sumatera Barat lewat aksi di depan Gedung DPRD Sumbar, hingga aksi di depan Gedung DPRD Jabar oleh warga Jawa Barat.
DPR RI berniat mengesahkan Revisi UU Pilkada pada Rapat Paripurna Kamis (22/8).
Namun rupanya rapat paripurna tak memenuhi syarat kuota forum. Dari total jumlah 556 anggota DPR, hanya 89 yang hadir.
DPR pun akhirnya membatalkan pengesahan dan menyatakan tunduk pada putusan MK soal syarat pencalonan Pilkada.
Hura-hura KIM Plus terhenti, langkah Kaesang pun kandas untuk maju di Pilgub Jateng.
Bahkan Ketum Megawati Soekarnoputri pun sempat menyindir Jokowi yang dinilai sudah mau habis masa kerjanya tapi masih berupaya mengakali hukum dan konstitusi.
“Sudahlah, sudah mau selesai, selesai saja,” sindir Megawati dalam agenda pengumuman rekomendasi kandidat PDIP Jilid II di DPP PDIP.
Meski tak menyebut nama secara langsung, namun semua yang hadir termasuk wartawan memahami bahwa Megawati memang menyindir Jokowi.