InsidePolitik–Kebijakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menambah jumlah masa reses pada Oktober hingga Desember 2025 dari satu kali menjadi dua kali menuai kritik tajam karena dianggap bikin boros anggaran dan melanggar UU MD3.
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho menilai langkah tersebut tidak hanya melanggar Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), tetapi juga mencerminkan kurangnya kepekaan terhadap krisis keuangan negara.
“Masa reses DPD seharusnya sinkron dengan DPR, yang pada periode Oktober-Desember 2025 hanya satu kali. Kebijakan ini tidak hanya melanggar UU MD3, tetapi juga memberikan tekanan berat pada APBN,” kata Hardjuno.
Hardjuno menjelaskan, biaya reses yang diberikan secara lump sum kepada anggota DPD sangat besar, mencapai Rp 350 juta per orang setiap reses.
Dengan jumlah anggota DPD sebanyak 152 orang, penambahan satu masa reses diperkirakan menguras anggaran hingga miliaran rupiah.
“Bayangkan, untuk satu kali reses tambahan, APBN harus mengeluarkan dana sekitar Rp 53,2 miliar. Ini adalah angka yang tidak kecil, terutama di tengah kondisi fiskal negara yang sedang defisit,” jelas Hardjuno.
Menurut Hardjuno, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas yang diatur dalam UU Pengelolaan Keuangan Negara.
Ia menegaskan, jadwal sidang dan reses DPD selama ini telah disinkronkan dengan DPR untuk menjaga efektivitas fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi.
“Penambahan reses ini mencederai tata kelola keuangan negara yang baik. Kami meminta DPD menghentikan kebijakan yang menghambur-hamburkan dana publik ini,” tegasnya.
Selain kritik dari Hardjuno, Indonesian Corrupt Workflow Investigation (ICWI) juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki dugaan pelanggaran terkait kebijakan ini.
ICWI menilai penambahan masa reses yang tidak sesuai aturan memiliki implikasi serius terhadap penggunaan anggaran negara.
“Kami mendukung langkah ICWI untuk memastikan pengelolaan keuangan negara tetap tertib dan transparan,” tambah Hardjuno.
Hardjuno berharap kritik ini menjadi perhatian bagi pimpinan DPD agar lebih bijak dalam membuat kebijakan anggaran.
Ia juga mengingatkan perilaku korup tidak hanya berupa pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, seperti keadilan, transparansi, dan tanggung jawab.
“Kami harapkan semua pihak terbuka terhadap kritik dan segera mengambil langkah korektif untuk memperbaiki kebijakan ini,” pungkas Hardjuno.