InsidePolitik–Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengkaji sistem pemilu serentak.
Pasalnya, menurut Burhanudiin, pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 perlu dievaluasi.
“Nah selain menetapkan batas atas pencalonan, sebaiknya MK juga melakukan diskusi atau intropeksi, apakah pemilu serentak dilakukan dalam satu tahun itu positif atau tidak?,”ujar Burhanuddin.
Mengacu pada pengalaman Pemilu 2024, kata dia, terjadi penurunan kontestan pada pemilihan kepala daerah (pilkada) dan mengakibatkan kompetisi elektoral menurun.
Pilkada yang dilaksanakan pada tahun yang sama dengan pilpres dinilai turut berkontribusi membuat partisipasi pemilih turun.
“Pilkada itu tak dilakukan di satu waktu. Kalau misalnya pilkada dilakukan setelah pilpres, sudah hampir pasti itu, partai-partai akan mengikuti partai pemenang,” ungkapnya.
Sebelumnya, DPR juga sudah menelurkan wacana merevisi sistem pemilu serentak. Langkah ini diambil menyusul tingginya angka golput dalam gelaran Pilkada Serentak 2024.
“Mungkin bisa kami lakukan ke depan perubahan dengan beda tahun, misalnya,” kata Dede Yusuf dalam keterangannya, Selasa, 3 Desember 2024.
Ia mengatakan pemberian jeda pemilu dan pilkada menjadi salah satu pertimbangan dalam wacana merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu.
Dede menyebut keserentakan pemilu juga bukan hal mudah bagi partai politik.
“Saya rasa pasti dipertimbangkan (pemberian jeda) karena tentu kawan-kawan juga memahami ya, setiap partai itu melewati sebuah proses pemilu dan pilpres yang tidak mudah,” ungkapnya.
Dede menuturkan jadwal pelaksanaan pileg, pilpres, dan pilkada yang terlalu berdekatan diduga menjadi salah satu faktor kelelahan dan kepenatan bagi pemilih, sehingga berdampak pada tingginya angka golput.
Menurutnya, pemisahan tahun antara pemilu dan pilkada bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.