InsidePolitik—Sebanyak 1.300 hakim mengajukan cuti bersamaan selama 5 hari dari 7-11 Oktober 2024 sebagai bentuk protes karena gaji kecil.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni meminta hakim mengurungkan niat mogok kerja.
Menurut Sahroni, cara hakim menumpahkan kekesalannya dengan melakukan mogok kerja adalah keliru.
Ada cara yang lebih elegan, ucap Sahroni, untuk merefleksikan kegeraman mereka terhadap aturan yang berlaku.
“Jangan sampai terjadi itu mogok kerja. Nggak baik bagi integritas hakim sendiri. Langkah yang baik dengan cara yang baik, melalui mekanisme kelembagaan,” kata Sahroni.
Sahroni bisa memahami keluhan para hakim. Namun, mogok kerja tidak akan menyelesaikan persoalan. “Secara logika, untuk pekerjaan yang perlu ilmu, tenaga, pikiran, dan keteguhan hati seperti hakim ini, gaji mereka bisa dibilang kecil,” tambahnya.
Bendahara Umum Partai NasDem itu lantas menyinggung soal kebobrokan hukum di Indonesia. Kata dia, hal ini merupakan dampak dari kurangnya kesejahteraan hakim.
Misalnya, banyak oknum hakim yang bisa dengan mudah dibeli. Proses peradilan jadi sangat transaksional.
“Jadi, mengenai kesejahteraan dan kepantasan gaji hakim ini harus mulai didiskusikan dan diformat secara serius dan konkret,” tegasnya.
Seperti diketahui, 1.300 hakim di seluruh Indonesia bakal menggelar aksi protes dengan mengajukan cuti bareng selama 5 hari.
Para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) itu, mengaku kecewa karena gaji dan tunjangannya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94/2012 tidak pernah berubah.
“Selama bertahun-tahun, kesejahteraan hakim belum menjadi prioritas Pemerintah. Padahal, hakim merupakan pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan di negara ini,” kata Juru Bicara SHI, Fauzan Arrasyid dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/9/2024).
Merespon keluhan ini, Sekretaris Bidang Advokasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Djuyamto mengaminkan seruan SHI. Djuyatmo bilang, seruan SHI ini merupakan bagian dari ekspresi para hakim dalam menyampaikan aspirasi.
“Sebetulnya pimpinan IKAHI maupun MA (Mahkamah Agung) sudah berupaya memperjuangkan aspirasi hakim soal jaminan kesejahteraan ini, tapi belum memperoleh hasil konkret. Prosesnya baru sampai di Kementerian PAN-RB,”, ungkap Djuyatmo.