INSIDE POLITIK– Buku puisi “Menungguku Tiba” karya sastrawan asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS, dibedah dalam sebuah acara yang berlangsung di Pusat Budaya Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad), Senin, 18 Agustus 2025, pukul 14.00 WIB. Kegiatan ini digelar bekerja sama dengan Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Unpad, di Bale Rumawat Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung.
Acara menghadirkan sejumlah narasumber penting, termasuk Dr. Baban Banita, M.Hum. (dosen Unpad) dan Dr. Ipit Saepidier Dimyati (dosen ISBI Bandung). Selain diskusi, bedah buku ini juga menampilkan pembacaan puisi oleh Fitri Angraini, yang akan membacakan salah satu puisi dari buku tersebut.
Dalam keterangan yang diberikan dari Bandar Lampung, Isbedy menyatakan akan berangkat pada Minggu malam, 17 Agustus 2025. Ia juga menyiapkan 20 eksemplar buku “Menungguku Tiba” untuk dijual saat acara dengan harga Rp 80 ribu per eksemplar, khusus bagi peserta yang ingin memiliki koleksi khusus.
Kumpulan puisi ini diterbitkan oleh Lampung Literatur pada Juni 2025 dan merupakan hasil karya Isbedy selama kurun waktu 2022–2025. Penulis yang dijuluki Paus Sastra Lampung oleh H.B. Jassin ini menyebut bahwa bedah buku di Unpad sekaligus menjadi tanda peluncuran resmi bukunya.
Isbedy juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada para pendukung kegiatan, termasuk Prof. Ganjar Kurnia, Dr. Ipit Saepidier Dimyati, Dr. Baban Banita, serta rekannya seperti IB Ilham Malik, Abduh Hakim, Yozi Rizal, Prof. Syarief Makhya, Kadis Perpustakaan Lampung, dan Dr. Fitrianita Damhuri.
Menurut Dr. Ipit, “Menungguku Tiba” berhasil menghadirkan puisi yang mengolah bahasa sehari-hari menjadi karya yang tenang, meski mengangkat tema kematian. Ia menilai, pembahasan kematian dalam karya ini membutuhkan keberanian eksistensial dan kedalaman spiritual agar tidak jatuh ke dalam klise atau romantisme berlebihan.
Dr. Ipit menambahkan, puisi-puisi dalam buku ini menampilkan kematian dengan cara yang tenang, hening, dan jernih, mencerminkan transisi batin penyair: dari tubuh yang terkuras, cinta yang meluruh, rumah yang senyap, hingga kesiapan menerima takdir yang tak bisa dielakkan.
Acara bedah buku ini menjadi momen penting untuk mengenalkan karya Isbedy kepada khalayak luas, sekaligus menjadi ruang diskusi yang mendalam tentang makna kehidupan, kematian, dan estetika bahasa dalam puisi modern.***