InsidePolitik–Massa dan polisi terlibat bentrok dalam aksi demo yang menuntut transparansi rekapitulasi suara Pilkada Buru.
Demonstrasi yang digelar oleh elemen mahasiswa dan pemuda Bupolo di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buru berakhir ricuh.
Aksi yang bertujuan menuntut transparansi dan keadilan dalam proses pemilu itu diwarnai dugaan penganiayaan terhadap peserta aksi oleh aparat.
Demonstrasi bertujuan mendesak Ketua KPU Kabupaten Buru, Walid Azis, dan anggotanya, Faisal Amin Mamulati, untuk menjelaskan status hukum TPS 02 Desa Debowae yang dianggap bermasalah dalam pleno rekapitulasi di tingkat PPK Kecamatan Waelata.
Menurut Bahta Gibrihi, Pengurus DPP KNPI Pusat yang ikut dalam aksi tersebut, massa aksi tidak melakukan tindakan anarkis selama demonstrasi.
“Kami hanya meminta Ketua KPU Kabupaten Buru keluar dan memberikan penjelasan terkait kotak suara TPS 02 Desa Debowae yang sudah dibawa ke kantor KPU tanpa melalui pleno di tingkat PPK Kecamatan Waelata,” ujar Bahta.
Masyarakat Desa Debowae sebelumnya menduga adanya kecurangan di TPS 02. Para saksi kandidat lain meminta agar kotak suara dibuka di tempat untuk memastikan transparansi.
Panwas Kecamatan Waelata mengeluarkan rekomendasi Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk TPS tersebut, yang disaksikan langsung oleh Ketua KPU Kabupaten Buru, Walid Azis, dan Kapolres Pulau Buru, Namlea.
Namun, rekomendasi PSU itu diabaikan. Pleno dihentikan sementara, dan ketika saksi sedang beristirahat, aparat tiba-tiba mengambil kotak suara bermasalah tersebut dan membawanya ke kantor KPU Kabupaten Buru dengan alasan penyelamatan kotak suara.
“Tidak ada kekacauan di lokasi, jadi mengapa kotak suara diambil tanpa pleno selesai? Ini jelas mencurigakan,” tegas Bahta.
Saat aksi berlangsung, aparat kepolisian Polres Buru diduga bertindak represif.
Salah satu peserta aksi, Yahya Besan, dilaporkan dipukul, ditendang, dan dipaksa masuk ke mobil polisi. Dua peserta lainnya, Fendi Waemese dan Rusli Warnangan, juga ditahan dan mengalami kekerasan fisik. Menurut Yahya, dirinya diseret sejauh 20 meter hingga mengalami luka di kaki dan tangan.
“Rahang dan rusuk saya dipukul sampai terjatuh di bawah mobil. Saat terjatuh, mereka masih menendang saya dan meneriaki saya sebagai provokator,” ungkap Yahya.
Yahya akhirnya melarikan diri meski dalam kondisi luka parah. Setelah beberapa meter berlari, ia terjatuh dan sempat tak sadarkan diri sebelum mencari pertolongan. “Saya lari ke warung untuk mencari air dan berlindung,” tambahnya.
Sementara itu, Bahta dan Yahya berharap ada langkah tegas untuk menindak oknum polisi yang melanggar dan memastikan transparansi dalam pelaksanaan pemilu. “Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai kecurangan pemilu merusak demokrasi dan hak masyarakat,” tutup Bahta.