INSIDE POLITIK – Saat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Timur gencar menyoroti tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari desa-desa yang dianggap tak patuh, sebuah fakta mencengangkan terungkap dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ternyata, Pemkab justru menunggak dana jauh lebih besar kepada desa-desa, mencapai lebih dari Rp11 miliar.
Desa Disorot, Pemkab Lupa Cermin?
Pada tahun 2024, total tunggakan PBB dari pemerintah desa se-Kabupaten Lampung Timur tercatat sebesar Rp1,4 miliar. Angka ini menjadi sorotan tajam dari Pemkab, yang menilai rendahnya kepatuhan desa dalam memenuhi kewajiban pajaknya.
Namun, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang dirilis pada 13 Mei 2024 justru mengungkap ketidakpatuhan Pemkab dalam menyalurkan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah (BHPRD) kepada desa-desa selama dua tahun anggaran terakhir.
Fakta Audit BPK: Tunggakan Pemkab Capai Rp11 Miliar
BPK mencatat, pada tahun 2023, Pemkab Lampung Timur belum menyalurkan BHPRD senilai Rp8,85 miliar. Sementara pada 2022, angka kekurangannya mencapai Rp2,16 miliar. Total tunggakan: Rp11,01 miliar. Angka ini hampir delapan kali lipat lebih besar dari tunggakan pajak yang dibebankan kepada desa.
Temuan ini menunjukkan adanya ketimpangan antara penegakan terhadap desa dan komitmen Pemkab terhadap kewajibannya sendiri.
Rekomendasi BPK dan Respons Pemkab
BPK dalam laporannya merekomendasikan agar Bupati Lampung Timur segera memerintahkan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) untuk mengusulkan anggaran dan menyiapkan dana penyaluran BHPRD ke desa. Namun, Kepala BPKAD justru menyatakan bahwa keterbatasan keuangan daerah menjadi alasan utama belum direalisasikannya kewajiban tersebut.
Pernyataan ini pun menuai reaksi dari sejumlah kepala desa.
Suara dari Desa: “Kami Sama-Sama Sulit”
Beberapa kepala desa menanggapi bahwa keterlambatan pembayaran PBB bukan semata karena kelalaian, melainkan karena kondisi ekonomi warganya yang sedang lesu. “Sama seperti Pemkab, kami juga menghadapi keterbatasan ekonomi. Bedanya, kami ditekan terus, sementara kewajiban Pemkab ke desa malah tidak dipenuhi,” ujar salah satu kepala desa di wilayah pesisir.
Ketimpangan yang Perlu Dibenahi
Fakta ini menimbulkan pertanyaan publik: Apakah Pemkab hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas? Penagihan pajak yang agresif kepada desa tanpa menyelesaikan kewajiban kepada desa sendiri menunjukkan ketimpangan dalam tata kelola keuangan daerah.
Jika Pemkab ingin menuntut kepatuhan desa, maka sudah seharusnya memberikan contoh transparansi dan tanggung jawab terlebih dahulu. Sejumlah aktivis dan pengamat daerah pun mendesak agar Bupati segera menindaklanjuti rekomendasi BPK dan mengedepankan keadilan fiskal antara pemerintah dan desa.
Dalam tata kelola keuangan yang sehat, kepatuhan harus bersifat dua arah. Tidak hanya rakyat dan desa yang diminta disiplin, tapi juga pemerintah daerah yang wajib transparan, adil, dan bertanggung jawab atas anggaran publik.(MEL)