INSIDE POLITIK— Fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece dalam perayaan Hari Kemerdekaan RI kembali menuai sorotan. R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyebutnya bukan sekadar tren pop kultur, melainkan alarm budaya yang menandai pergeseran nilai kolektif bangsa.
“Ini bukan soal suka atau tidak suka anime. Tapi ketika simbol asing berdiri menggantikan Merah Putih, itu tandanya kita sedang kehilangan arah,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (1/8).
Haidar Alwi memuji keberanian Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang lebih dulu menyoroti fenomena ini. Ia menyebut langkah Dasco sebagai suara yang menyalakan peringatan dini untuk menjaga identitas nasional dari erosi simbolik yang samar namun nyata.
Simbol: Lebih dari Sekadar Gaya
Menurut Haidar, simbol seperti bendera bukan sekadar ornamen, tapi fondasi nilai yang membentuk cara pandang generasi. Ia menilai bahwa pengibaran bendera fiksi bajak laut, seperti Jolly Roger, dalam momen nasional merupakan tanda kebingungan makna di kalangan anak muda dan kelalaian kolektif dalam menjaga jati diri bangsa.
“Simbol adalah bahasa nilai. Ketika simbol asing menggantikan simbol negara, itu artinya kita sedang membuka pintu bagi infiltrasi ideologis melalui budaya populer,” katanya.
Dasco dan Keberanian Moral yang Langka
Haidar menyebut pernyataan Dasco—yang mengindikasikan adanya pola sistematis dalam maraknya simbol fiksi—sebagai bentuk kewaspadaan yang harus diteladani pemimpin lain.
“Di tengah gempuran budaya global, tidak mudah bersuara. Tapi justru itulah pentingnya keberanian moral. Dan saya menilai Pak Dasco sudah menunjukkannya,” ujar Haidar.
Ia juga menyoroti kelengahan para elit politik yang terlalu sibuk mengejar isu viral, tapi menyepelekan perubahan kecil seperti simbol dan bahasa visual publik yang sesungguhnya mempengaruhi arah berpikir kolektif bangsa.
Solusi Bukan Sekadar Melarang, Tapi Membangun Imajinasi Bangsa
Meski mengkritisi penggunaan simbol asing, Haidar menegaskan bahwa solusi tidak bisa berhenti pada pelarangan atau kecaman semata. Ia mengajak semua pihak untuk membangun kebanggaan terhadap simbol nasional lewat pendekatan kreatif dan edukatif—termasuk penciptaan karakter fiksi lokal yang kuat.
“Kalau Jepang punya Luffy, kenapa Indonesia tidak bisa melahirkan karakter pahlawan lokal yang digemari dunia?” ucapnya.
Ia menyebut kegemaran generasi muda terhadap anime bukanlah masalah. Justru tugas negara dan industri kreatif adalah menyediakan alternatif imajinatif yang mencerminkan nilai-nilai Indonesia.
Bukan Hanya Tanah, Tapi Imajinasi yang Harus Dijaga
Bagi Haidar, menjaga eksistensi Merah Putih bukan semata soal hukum, tetapi kesadaran kolektif untuk mempertahankan makna. Ia mengingatkan bahwa bangsa besar tidak hanya mempertahankan wilayahnya, tetapi juga membentengi imajinasi anak-anaknya dari dominasi budaya asing.
“Kalau simbol negara bisa digeser oleh simbol fiksi, maka arah berpikir bangsa ini sedang digiring tanpa sadar,” tandasnya.
“Kita butuh pemimpin yang tidak sekadar melihat apa yang terjadi hari ini, tapi mampu membaca ke mana arah bangsa ini dibawa. Dan saya melihat peringatan Pak Dasco sebagai alarm yang tepat waktu,” pungkasnya.***