INSIDE POLITIK— Pengamat politik dan pendiri Haidar Alwi Care serta Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, menilai keputusan Presiden dalam memberikan amnesti kepada 1.116 orang, termasuk Hasto Kristiyanto, dan abolisi kepada Tom Lembong, bukan semata langkah hukum administratif. Lebih dari itu, menurutnya, ini adalah sinyal kuat dari negara untuk meredakan ketegangan politik dan menumbuhkan kembali kewarasan demokrasi.
Namun sorotan utama Haidar justru tertuju pada sosok Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI, yang tampil lugas mewakili parlemen dalam menyampaikan sikap resmi terhadap kebijakan tersebut.
“Tanpa menjatuhkan siapa pun, tanpa glorifikasi kekuasaan—Dasco tampil sebagai jembatan moral antara pemerintah dan publik,” ujar Haidar.
Bukan Sekadar Hukum, Ini Soal Kepemimpinan Moral
Dalam situasi politik yang mudah terbakar oleh opini, langkah Dasco menyampaikan keputusan DPR secara terbuka dan bertanggung jawab, dinilai Haidar sebagai bentuk keberanian politik yang langka. Ia tidak sekadar menjalankan fungsi administratif, tetapi menyampaikan keputusan negara dengan ketegasan yang menenangkan, bukan membelah opini.
“Yang dilakukan Dasco adalah bentuk konkret politik keadaban. Rekonsiliasi tidak harus diumumkan dengan megafon, cukup diwujudkan lewat sikap,” tegas Haidar.
Satukan Kembali Fungsi Parlemen Sebagai Penjaga Akal Sehat Nasional
Menurut Haidar, ketika dua tokoh dari kubu berbeda memperoleh pengampunan melalui proses yang sistematis, dan sikap resmi DPR disampaikan tanpa politisasi berlebihan, maka ini menunjukkan harapan baru bagi parlemen sebagai ruang kompromi beradab, bukan panggung kegaduhan.
“Parlemen bisa menjadi penyeimbang kekuasaan, bukan alat untuk membakar emosi publik,” tambahnya.
Haidar juga menekankan pentingnya memahami bahwa amnesti dan abolisi merupakan mekanisme konstitusional, bukan hadiah politik. “Ini bukan soal kedekatan atau balas jasa, tapi soal prosedur dan keadilan hukum,” ujarnya.
Politik Sejuk adalah Oksigen Demokrasi
Dalam penilaiannya, langkah Dasco adalah cermin dari pemimpin yang mengutamakan substansi, bukan panggung. Ia tidak bersembunyi di balik institusi atau fraksi, melainkan bersedia memikul tanggung jawab di saat isu tengah panas.
“Ketegasan yang elegan seperti ini perlu ditiru. Bukan teriak keras yang membuat pemimpin kuat, tapi keberanian untuk jernih di tengah badai,” ungkap Haidar.
Ia pun menutup pernyataannya dengan refleksi tajam:
“Kalau setiap keputusan penting negara disampaikan dengan cara yang sejuk dan bertanggung jawab seperti ini, kita akan lebih sering menemukan damai dalam politik—bukan konflik.”***