INSIDE POLITIK – Kasus perundungan kembali mencoreng dunia pendidikan. Seorang siswa kelas IV di salah satu SD Negeri di Pondok Gede, Kota Bekasi, menjadi korban aksi kekerasan oleh empat teman sekelasnya. Akibat kejadian itu, korban mengalami luka fisik serius, termasuk memar dan pergeseran tulang di bagian pundak.
Menanggapi hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi langsung bergerak cepat. Ketua KPAD Kota Bekasi, Novrian, menyatakan bahwa lembaganya akan mendampingi korban dan keluarganya secara intensif.
“Kami akan melakukan asesmen serta memberikan terapi psikososial kepada korban. Ini penting untuk memulihkan kondisi psikologis anak,” ujar Novrian, Senin (9/6/2025).
Pendekatan Holistik, Orang Tua Pelaku Akan Dipanggil
Tidak hanya fokus pada korban, KPAD juga akan memanggil orang tua keempat pelaku untuk mengetahui latar belakang perilaku anak-anak mereka. Pendekatan ini dilakukan sebagai upaya mencari akar masalah secara menyeluruh, baik dari lingkungan keluarga maupun sekolah.
“Kami tidak akan melihat dari satu sisi saja. Pendekatan yang kami lakukan menyeluruh, demi mencegah kasus serupa terulang,” tegas Novrian.
Pihak sekolah juga akan dimintai keterangan terkait penanganan awal terhadap korban. Novrian menyayangkan masih adanya celah yang memungkinkan kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan.
Luka Fisik dan Kekecewaan Keluarga
Korban yang masih berusia 10 tahun menderita memar di paha, pinggang, dan pergeseran tulang di pundak akibat dugaan pemukulan. Sang ibu, yang berinisial A, mengungkapkan kekecewaannya atas penanganan yang belum tuntas, terutama soal janji pembiayaan pengobatan dari keluarga pelaku.
“Sudah dijanjikan akan ditanggung, tapi sampai sekarang belum dibayar. Biayanya sekitar Rp 400-500 ribu, belum termasuk terapi ortopedi,” ujarnya.
Mediasi Belum Tuntas, Tanggung Jawab Masih Menggantung
Pihak sekolah sebelumnya telah memfasilitasi mediasi antara keluarga korban dan pelaku, dengan kesepakatan bahwa penyelesaian akan dilakukan secara kekeluargaan. Namun, janji tinggal janji. Hingga kini, keluarga korban belum menerima biaya pengobatan yang dijanjikan.
“Anak saya butuh terapi agar tulangnya kembali seperti semula. Harapannya sederhana: ada tanggung jawab dari mereka,” ungkap sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
Perundungan di sekolah bukan hanya soal luka fisik, tetapi juga menyisakan trauma mendalam bagi korban. Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas bersama—orang tua, guru, dan negara.(SIF)