INSIDE POLITIK – Air mata penyesalan mengiringi langkah mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, dalam ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (10/6/2025). Pria yang dikenal sebagai makelar perkara itu menumpahkan sesal karena terjerat kasus dugaan suap dalam vonis bebas Ronald Tannur.
Pada usia 63 tahun, di mana seharusnya ia menikmati masa pensiun bersama keluarga, Zarof justru harus duduk di kursi pesakitan. Dalam pleidoi pribadinya, Zarof mengaku menyesal dan memohon maaf kepada Mahkamah Agung, tempat ia mengabdi selama lebih dari tiga dekade.
“Saya amat menyesal di umur saya yang sudah 63 tahun. Saat saya ingin habiskan masa pensiun bersama keluarga, saya malah di sini karena kelalaian saya,” ucapnya lirih di hadapan majelis hakim.
Zarof pun menyatakan penyesalan atas nama institusi yang pernah ia wakili.
“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada Mahkamah Agung RI. Saya hormati apa pun putusan majelis hakim nantinya,” imbuhnya.
Zarof juga membantah terlibat langsung dalam proses hukum perkara Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya. Ia mengklaim hanya mengenalkan pengacara Ronald, Lisa Rachmat, kepada eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono.
Lebih lanjut, Zarof menolak tudingan bahwa ia mempengaruhi putusan kasasi dalam kasus Ronald. Meski mengakui menerima Rp5 miliar dari Lisa, ia menegaskan tidak pernah menjanjikan uang kepada hakim atau mempengaruhi proses persidangan.
“Hakim agung Soesilo sudah menyatakan putusan itu dibuat berdasarkan keyakinan pribadinya,” tegas Zarof.
Namun ironi tetap menyelimuti fakta: Jaksa menuding Zarof menerima gratifikasi sebesar Rp915 miliar dan 51 kg emas selama 10 tahun menjabat di MA. Uang dan logam mulia itu diyakini berasal dari berbagai ‘jasa’ memuluskan perkara.
Zarof pun menyindir keras praktik penegakan hukum yang menurutnya lebih banyak berlandaskan asumsi ketimbang fakta.
“Saya prihatin terhadap sistem penegakan hukum JPU yang lebih menonjolkan asumsi daripada fakta dan logika hukum. Pembelaan saya pun seakan tak berarti,” keluhnya.
Di akhir pembelaannya, Zarof mengungkapkan dirinya adalah tulang punggung keluarga yang selalu bersikap kooperatif selama proses hukum. Ia tak pernah beralasan sakit untuk menghindari persidangan, bahkan tetap menjalani proses meski kondisinya kurang sehat.
“Saya tetap hadir meski sakit, tak pernah sekalipun saya menolak persidangan. Saya berharap majelis hakim memberi putusan berdasarkan fakta,” tutupnya.
Kini, nasib Zarof tinggal menunggu palu hakim. Dari gedung megah Mahkamah Agung ke balik jeruji besi, kisahnya menjadi potret tragis bagaimana kekuasaan, jika disalahgunakan, hanya akan berujung penyesalan di ujung usia.(SIF)