INSIDE POLITIK – Komisi III DPR RI kembali membuka ruang diskusi publik terkait Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) akan digelar pada Selasa, 17 Juni 2025, dengan melibatkan mahasiswa dari sejumlah universitas ternama serta para ahli hukum pidana dan lembaga terkait.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa proses revisi KUHAP tidak hanya bertujuan memenuhi asas partisipasi publik semata, tetapi juga demi menyusun regulasi yang berkualitas dan responsif terhadap keadilan.
“Kami akan menerima masukan dari Mahasiswa UGM, FH UI, FH Unila, FH UBL, Pascasarjana Hukum Universitas Borobudur, LPSK, Peradi, hingga sejumlah ahli pidana terkemuka,” ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senin (9/6/2025).
RUU KUHAP Dinilai Butuh Penyempurnaan
Komisi III menilai KUHAP yang berlaku saat ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Dalam rangka pembaruan hukum, Komisi III berkomitmen menggandeng berbagai pihak agar rancangan baru KUHAP mengakomodasi prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan hak asasi manusia.
“RUU ini penting karena menyangkut hak-hak dasar warga negara dalam proses hukum. Kami ingin memperkaya substansi RUU dengan perspektif akademis dan praktik hukum,” tegasnya.
Aspirasi dari 38 Kelompok Sudah Diterima
Sebelumnya, Komisi III juga telah menyerap aspirasi dari berbagai elemen masyarakat melalui berbagai forum. Sejauh ini, 38 kelompok masyarakat dan perorangan telah menyampaikan pandangan melalui RDPU, audiensi, seminar, dan Focus Group Discussion (FGD).
“Masyarakat sangat antusias dengan gagasan KUHAP baru. Mereka berharap sistem hukum acara pidana Indonesia menjadi lebih adil dan efisien,” ujar Habiburokhman.
Harapan untuk Sistem Peradilan yang Lebih Modern
Dengan menggandeng mahasiswa hukum, akademisi, advokat, dan lembaga negara seperti LPSK, Komisi III berharap dapat menyusun KUHAP baru yang tidak hanya normatif tetapi juga aplikatif dan kontekstual sesuai tantangan hukum ke depan.
Revisi KUHAP bukan hanya persoalan teknis hukum, melainkan menyangkut nasib para pencari keadilan di ruang-ruang peradilan. Partisipasi luas dari elemen kampus, praktisi, hingga masyarakat sipil menjadi fondasi penting untuk menyusun sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi dan profesional.(SIF)