INSIDE POLITIK— Sudah dua tahun berlalu sejak Roslan Roeslani mengakhiri masa tugasnya sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat pada 17 Juli 2023. Namun hingga awal Juli 2025, posisi strategis itu masih kosong tanpa pengganti resmi.
Alih-alih sudah terisi, publik justru dibuat terkejut dengan isi Surat Presiden Nomor R3, tertanggal 1 Juli 2025, yang secara resmi memohon pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) terkait sejumlah nama calon duta besar—termasuk untuk pos Amerika Serikat.
Tentu, kata “memohon” dalam surat tersebut mengundang beragam reaksi. Tidak sedikit yang menyebut hal ini sebagai ironi diplomasi modern: seorang presiden dari negara demokrasi terbesar ketiga di dunia—yang juga mantan petinggi pertahanan—masih harus menggunakan bahasa permohonan untuk penempatan pejabat strategis luar negeri.
Namun di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa adab ketatanegaraan dan tata kelola demokrasi di Indonesia tetap dijunjung tinggi.
“Meski Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, penempatan Dubes tetap melalui mekanisme check and balance, termasuk fit and proper test di DPR,” ujar salah satu pengamat politik internasional.
Sementara itu, masyarakat mulai bertanya-tanya: apakah kekosongan pos Dubes RI untuk AS selama dua tahun adalah bagian dari efisiensi anggaran negara, atau justru bentuk kelambanan diplomasi?
Terlepas dari itu, kekosongan ini menjadi “drama Senin” yang mencuat, terlebih ketika hubungan Indonesia-AS terus bergerak dalam dinamika geopolitik global yang penting, terutama menyangkut isu Indo-Pasifik, perdagangan digital, dan pertahanan regional.***