INSIDE POLITIK- Kalau biasanya orang ribut soal harga BBM, pemilu curang, atau sinyal Wi-Fi yang suka ngilang pas Zoom, kali ini kita diajak ribut… soal penulisan ulang sejarah Indonesia.
Iya, sejarah. Buku pelajaran yang dulu sering kita jadikan ganjel kipas angin di kelas. Sekarang, malah jadi medan tempur ideologi, ego politik, dan—tentu saja—bahan meme netizen.
Yang Mau Diubah Apa, Sih?
Katanya, sejarah Indonesia harus “diperbarui”. Alasannya: narasinya terlalu didominasi versi Orde Lama dan Orde Baru.
Pahlawan dipilih-pilih. Peristiwa diceritain setengah-setengah. Tokoh tertentu kayak disorot pakai lampu panggung, yang lain malah diblur kayak mantan di Instagram.
Pemerintah (dan beberapa akademisi) merasa perlu bikin versi baru. Katanya sih biar lebih inklusif. Tapi rakyat malah waswas:
“Ini mau bikin sejarah, atau naskah drama politik untuk 2029?”
Pro: Katanya Biar Objektif
Para pendukung penulisan ulang ini bilang:
“Hei! Ini penting biar generasi muda gak dicekoki sejarah versi tunggal. Sejarah harus dibuka selebar-lebarnya. Harus kritis! Harus ada banyak perspektif!”
Kedengarannya keren. Apalagi kalau disampaikan sambil ngopi di seminar ber-AC.
Tapi masalahnya… siapa yang pegang pulpen buat nulis sejarah barunya?
Jangan-jangan “inklusif” itu cuma kamuflase dari “ikut selera yang lagi berkuasa”.
Kontra: Lah, Jangan-jangan Ini Akal-Akalan Politik
Pihak yang kontra langsung siaga satu:
“Waduh, ini jangan-jangan cara halus buat ngehapus dosa sejarah!”
Netizen udah nangkep sinyal:
Ada yang takut G30S versi sekarang malah jadi Ghibah 65.
Ada yang bilang nanti sejarah reformasi dipotong, terus bab Jokowi jadi epilog berdurasi 400 halaman.
Ada juga yang khawatir pahlawan-pahlawan underrated kayak Sutan Sjahrir malah makin didepak demi masukin “pahlawan kekinian” dari TikTok.
Lah, lama-lama Sejarah Indonesia bisa jadi kayak season baru sinetron lama. Pemerannya beda, ceritanya dibolak-balik, ending-nya ditunda lima tahun.
Sejarah atau Skenario?
Masalahnya satu: sejarah itu bukan cerita Marvel yang bisa di-reboot setiap dekade.
Ini tentang kebenaran—meski pahit, bahkan busuk. Tapi ya itu yang harus dihadapi.
Kalau semua hal yang bikin malu dihapus, yang disisakan tinggal quotes bijak dan foto hitam putih dengan filter vintage.
Sejarah bukan buat pencitraan. Kalau memang kelam, ya biar jadi pelajaran.
Bukan malah disetrika biar rapi dan bersih kayak karpet masjid baru dicuci.
Kesimpulan Ngocol Tapi Ngena
Menulis ulang sejarah itu boleh, bahkan perlu—asal niatnya bener: buat meluruskan, bukan melicinkan.
Tapi kalau niatnya buat ganti narasi demi selera penguasa… ya siap-siap aja rakyat bakal bilang:
> “Woy, ini buku sejarah, bukan skrip kampanye!”
Karena sejarah itu bukan milik satu era.
Bukan milik satu keluarga.
Apalagi satu partai.
Dia milik bangsa.
Milik kita semua.
Termasuk yang sekarang lagi ngakak baca artikel ini sambil nyeruput kopi sachet.
NGAKAK POLITIK pamit dulu…
Ingat: kalau sejarah ditulis ulang dengan niat ngibul,
nanti generasi depan bakal bilang:
“Loh, ternyata sejarah kita… plot twist doang?” 😅
Sampai jumpa di edisi berikutnya.
Ngakak boleh. Tapi jangan lupa mikir, Bro.***