InsidePolitik—Pilkada di daerah terpencil rawan kecurangan, hal ini mengingat pemantauan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 dinilai hanya ketat di sejumlah daerah.
“Bukan tidak mungkin ada pilkada-pilkada yang jumlah potensial kecurangannya sangat besar, tidak teramati,” kata Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari.
Feri menjelaskan kecurangan dalam pilkada tidak hanya bisa terjadi di daerah-daerah yang mendapatkan sorotan publik.
Pemantauan di wilayah terpencil sulit dilakukan masyarakat sipil karena kurangnya tenaga.
“Itu jadi problematika karena kita sendiri kalau mau jadi pemantau pilkada, kecurangan itu, dibebani untuk memantau di tiap-tiap daerah,” ucap Feri.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tidak memberikan bantuan kepada kelompok masyarakat untuk memantau pilkada di daerah terpencil.
Padahal, kerjaan itu merupakan bantuan untuk penyelenggara pemilu agar memastikan pesta demokrasi berjalan dengan semestinya.
Kecurangan dalam pilkada disebut bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya yakni membuat aparatur sipil negara (ASN) tidak netral.
Menurut Feri, ketidaknetralan ASN dalam pilkada berbahaya. Dampaknya bisa dirasakan pada pelayanan publik.
“Netralitas itu untuk pertama untuk menjaga agar layanan publik tetap prima,” ujar Feri.
ASN yang tidak netral dalam pilkada dinilai bahaya. Feri menyontohkan pelayanan fasilitas kesehatan jika ada pegawai negeri yang memihak calon tertentu.
Petugas medis bisa hanya mendulukan pasien yang memberikan dukungan ke calon yang sama jika ASN boleh tidak netral. Padahal, kata Fery, pelayanan kesehatan harus disamaratakan.
Bahaya kedua dari ketidaknetralan ASN yakni mudahnya penyetoran dengan sejumlah ancaman. Salah satunya yakni memindahkan lokasi kerja pegawai negeri yang tidak mau memilih calon tertentu.
“Kedua, ASN itu mudah sekali dimanfaatkan, diancam, dia pindah tempat, pindah kerjaan, lalu turun pangkat dan lain-lain,” tutur Feri.