InsidePoolitik–Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyebut pembredelan pameran tunggal lukisan karya Yos Suprapto bertajuk Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan adalah bentuk dari pemerintahan otoriter.
Usman menegaskan setiap orang di semua negara harus dilindungi haknya, termasuk karya seni.
“Khusus untuk karya seni, di dalam literatur hak asasi manusia itu disebut kebebasan artistik, kebebasan berkesenian. Karena dia kebebasan artistik, dia sebenarnya jauh dari ranah yang dibayangkan bagai alasan-alasan pembredelan,” kata Usman.
Usman mengatakan pemberedelan karya seni sebagai ekspresi artistik pada umumnya terjadi di negara-negara totaliter atau otoriter.
“Ada tiga penyebab biasanya kenapa lukisan misalnya disensor di negara-negara otoriter. Yang pertama, itu karena mengganggu stabilitas politik. Yang kedua, karena mengganggu norma agama, dan ketiga karena mengganggu norma sosial,” ujar dia.
Pameran tunggal seniman, Yos Suprapto, yang dijadwalkan dibuka di Galeri Nasional Indonesia pada 19 Desember 2024, menuai pro dan kontra. Eksibisi tunggalnya bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan terpaksa ditunda.
Dilansir dari berbagai sumber, pada 17 Desember 2024, Yos Suprapto menyebut Suwarno Wisetrotomo sebagai Kurator datang ke Galeri Nasional Indonesia, melihat lukisan yang sudah dipasang. Namun, dia meminta lukisan Yos Suprapto berjudul Konoha 1 dan Konoha 2 diturunkan.
Menurut Yos, Suwarno sebagai kurator sempat melaporkan hal itu kepada Wamen Kebudayaan Giring Ganesha. Lukisan tersebut dinilai mengandung pornografi, dan Yos menutup dua karya itu dengan kain sebagai bentuk sensor.
Namun, pada 19 Desember 2024, sebelum pameran dibuka, Yos dipanggil kembali untuk rapat. Dia diminta menurunkan tiga lukisan lainnya.
Yos merasa heran karena permintaan itu disampaikan beberapa jam sebelum pameran dibuka. Dia tidak setuju dengan permintaan tersebut.
Kondisi tersebut ternyata membuat pameran Yos tidak bisa digelar. Galeri Nasional menunda pembukaan pameran tersebut.