InsidePolitik–Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta penguggat presidential threshold pastikan tak punda tendensi politik apapun dibalik gugatan mereka.
Keempatnya mengajukan gugatan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan.
Salah seorang mahasiswa penggugat, Enika Maya Oktavia, menyatakan gugatan yang dilakukan tak ada tendensi kepentingan politik.
“Permohonan kami tidak mendapat intervensi dari organisasi, institusi, maupun partai politik manapun. Apa yang kami lakukan sekarang, permohonan yang kami lakukan sekarang merupakan murni perjuangan akademis dan juga perjuangan advokasi konstitusional,” kata Enika di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat, 3 Januari 2025.
Enika menjelaskan latar belakangnya dan koleganya yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi – organisasi resmi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Ia menceritakan kelompoknya pernah mengikuti Debat Penegakan Hukum Pemilu perguruan tinggi se-Indonesia ke-III Tahun 2023 yang digelar Bawaslu.
Mosi debat pada babak final adalah penghapusan presidential threshold dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
Mahasiswi prodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga itu kemudian melakukan kajian.
“Presidential threshold mosinya, kami punya bahan kajiannya, masuk kemudian ada putusan Almas 90,” jelasnya.
Enika lantas menjelaskan maksud putusan Almas 90 ini merujuk gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa dari Solo, yakni Almas Tsaqibbirru terkait batas usia capres-cawapres.
Saat itu MK di bawah kemudi Anwar Usman mengabulkan sebagian permohonan Almas dalam uji UU Pemilu menjadi capres/cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Sebelum putusan gugatan 2023 itu, Enika melanjutkan, ada uji materi Pasal 222 UU 7/2017, namun mental. Uji materi Pasal 222 UU 7/2017 gagal lantaran pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.
Enika menyebut MK tampak melunak saat mahasiswa dari Solo mengajukan gugatan. Padahal ia mengaku pernah melakukan judicial review undang-undang Pemilu tersebut dan gagal.
“Dari situ kami mulai susun draf (uji materi) pertengahan Februari. Di sana kami mulai meng-draft, kami mulai kemudian menulis gugatan permohonan-permohonannya,” ucapnya.
Ia menegaskan uji materi yang dikabulkan MK itu dilakukan demi menghindari berbagai tekanan politik selama proses pengujiannya. Ia menilai kajian-kajian yang MK lakukan tidak mendapat preseden atau pengaruh-pengaruh buruk secara politik usai Pemilu.
“Melainkan benar-benar kajian akademis, melainkan benar-benar kajian substansi hukum, dan hal ini terbukti,” ucapnya.
Sementara Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie, menyatakan kampus tak menunggangi tindakan yang dilakukan empat mahasiswanya itu. Ia mengungkapkan judicial review Pasal 222 UU Pemilu yang dianggap sakral itu tak ada hubungan dengan partai politik.
“Tapi saya jamin empat pemohon ini mereka murni berinisiatif dalam konteks pendidikan demokrasi dan pendidikan konstitusi,” kata Gugun.