INSIDE POLITIK- Di tengah gurun panas Timur Tengah, terdapat sebuah jalur laut sempit yang menjadi tumpuan ekonomi global—Selat Hormuz. Dengan lebar hanya sekitar 39 kilometer di titik tersempitnya, selat yang menghubungkan Teluk Persia dan Laut Arab ini mengalirkan lebih dari sepertiga pasokan minyak mentah dunia setiap hari.
Data dari Energy Information Administration (EIA) mencatat, sekitar 20 juta barel minyak melintasi Selat Hormuz setiap harinya. Aliran ini berasal dari negara-negara penghasil energi utama seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab, dengan tujuan pasar energi utama di Asia dan Eropa. Selain minyak, gas alam cair (LNG) dalam volume besar juga melintasi jalur ini.
Dengan peran vitalnya tersebut, Selat Hormuz menjadi titik panas geopolitik dunia. Iran—yang menguasai sisi utara selat—berulang kali mengancam akan menutup jalur ini sebagai respons atas tekanan Barat. Bagi Iran, penutupan Selat Hormuz menjadi “senjata diplomatik terakhir”, meski langkah itu bertentangan dengan hukum internasional dan prinsip kebebasan navigasi.
Amerika Serikat, demi menjamin kelancaran pasokan energi global, secara rutin menggelar patroli militer di kawasan ini. Negara-negara Teluk juga memperkuat pertahanan maritim mereka untuk mengantisipasi eskalasi konflik.
Namun, ancaman tak hanya datang dari negara. Selat Hormuz juga rawan terhadap serangan terhadap kapal tanker, penyelundupan senjata, hingga sabotase, seperti yang terjadi pada tahun 2019 saat sejumlah kapal tanker menjadi target ledakan misterius.
Sementara beberapa negara mencoba mencari alternatif jalur energi, seperti pipa minyak East-West milik Arab Saudi, kapasitasnya masih jauh dari memadai untuk menggantikan peran strategis Selat Hormuz.
Dengan segala ketegangannya, Selat Hormuz tetap berdiri sebagai urat nadi energi dunia. Satu percikan konflik saja bisa memicu lonjakan harga minyak global, menekan inflasi, dan mengguncang stabilitas ekonomi berbagai negara.
Terlalu vital untuk gagal. Terlalu sensitif untuk diabaikan.
Itulah Selat Hormuz—bukan sekadar jalur air sempit, tetapi simpul strategis yang menentukan masa depan energi dunia.***