INSIDE POLITIK– Upaya Pemerintah Provinsi Lampung dalam menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui program pemutihan pajak kendaraan bermotor, tampaknya belum juga memberikan hasil yang memuaskan. Alih-alih menjadi angin segar bagi kas daerah, program ini justru terlihat seperti tambal sulam tanpa efek jangka panjang yang berarti.
Di balik grafik dan laporan yang disusun rapi, suara publik menggema lebih keras: “Rakyat lagi yang diperas?” Pertanyaan itu mencuat di tengah lesunya daya beli masyarakat, sementara di sisi lain, kendaraan bermotor terus membanjiri jalan-jalan kota, menyumbang emisi dan kemacetan tanpa henti.
Pajak, Paru-Paru, dan Para Mantan
Pajak kendaraan bermotor—di atas kertas—adalah cara untuk mengatur emisi, mengendalikan lalu lintas, dan meningkatkan penerimaan daerah. Namun dalam kenyataannya, yang dihirup bukan udara bersih, tapi asap pekat yang menusuk paru-paru: dari ibu muda yang tengah mengandung, hingga ibu tua yang tengah mengingat mantan.
Tarik-ulur soal pajak seakan menjadi drama klasik: rakyat diminta patuh, pengusaha diberi ruang, pejabat memetik keuntungan. Lantas, siapa yang sebenarnya merasakan dampaknya?
Solusi Ironis: Pajaki Produsen, Bukan Hanya Pengguna
Barangkali sudah waktunya untuk menggeser beban. Mengapa tidak mengenakan pajak tinggi kepada produsen dan penjual kendaraan yang terus mendorong konsumsi kendaraan pribadi tanpa solusi transportasi publik yang layak?
Jika ruang kota makin sesak, jika jalan-jalan berubah menjadi parkiran massal, apakah kita akan terus menyalahkan rakyat yang hanya berusaha sampai di tempat kerja?
Dan ketika wakil rakyat duduk nyaman di ruang ber-AC, menikmati gaji dan tunjangan, rakyat sibuk menghitung receh untuk bayar pajak, belanja dapur, dan ongkos anak sekolah.
Antara Kritik dan Satir: Bahasa yang Kadang Terlalu Jujur
Di antara kritik dan satire, ada keresahan yang nyata. Tak semua dari kita mampu merangkai bahasa yang akademis dan diplomatis. Namun ketika “wakil rakyat tak paham traktat”, ketika kebijakan lahir tanpa melihat realitas, bukankah wajar jika publik menyuarakan kegelisahannya dengan cara yang lugas, bahkan pedas?
“Kalau saya harus menjawab semua kebijakan, lantas kenapa saya punya wakil rakyat?” tulis seorang warganet dengan nada getir.
Penutup: Seni Berbahasa dan Harapan yang Tak Putus
Bumi kita Indonesia, dan Lampung bukan pengecualian. Harapan itu masih ada, selama ada kemauan untuk mendengar, bukan sekadar menghitung. Jika pemutihan pajak belum mengerek PAD, mungkin yang perlu dibenahi bukan rakyat, tapi rumus dan niat di balik kebijakannya.
Selamat menunaikan seni berbahasa. Dan semoga, tali PAD kita tidak terus-menerus putus.***