INSIDE POLITIK– Suasana ruang rapat Komisi V DPRD Provinsi Lampung memanas, Senin (7/7/2025), saat puluhan kepala sekolah SMK swasta mengadukan nasib mereka. Minimnya jumlah murid baru, regulasi yang dianggap timpang, dan ancaman pemutusan hubungan kerja bagi guru-guru swasta menjadi tema utama polemik pendidikan yang kembali mencuat ke permukaan.
Anggota DPRD Fraksi Demokrat, Muhammad Junaidi, dalam forum tersebut menyoroti perlunya sekolah swasta meningkatkan kualitas pendidikan dan strategi marketing. “Kita juga harus jujur, ada sekolah swasta yang gagal menarik minat. Tapi yang berbasis Islam terpadu tetap diminati, ini patut jadi refleksi,” ucapnya.
Sementara itu, data Dinas Pendidikan menunjukkan ada 2.470 lulusan SMP di Bandar Lampung yang belum terserap ke SMA/SMK Negeri. Namun, justru sekolah swasta tetap kesulitan mendapatkan murid baru. Ironi ini menjadi pangkal kekhawatiran para kepala sekolah.
Kepala Sekolah: “Kami Bukan Lagi Mengajar, Tapi Bertahan Hidup”
Muhammad Iqbal Cahyadi Syah Putra, Kepala SMK PGRI 1, mengkritisi kebijakan Pemkot yang mendirikan Yayasan Sekolah Siger dan meminjam gedung SMP Negeri untuk operasional. “Sekolah swasta tak boleh pakai gedung negeri. Tapi Yayasan Siger bisa? Ini jelas tak adil,” ujarnya lantang.
Dia juga menyebut regulasi terlalu memberatkan sekolah swasta dalam membuka jurusan baru. “Kami harus urus izin bangunan, minta rekomendasi lima sekolah sekitar. Tapi yayasan baru malah bebas melenggang,” katanya.
Dewan Terbelah: Dukungan dan Sorotan Mengalir
Bupati Junaidi membela kehadiran Sekolah Siger sebagai wujud pendidikan gratis untuk rakyat. “Saya justru bangga jika negara bisa menggratiskan pendidikan,” katanya.
Namun Budhi Chondrowati dari Fraksi PDI-P berbeda pandangan. Ia menyoroti ketimpangan penerimaan murid, khususnya di SMK negeri yang bisa menampung hingga 820 siswa, jauh di atas standar ideal.
“Jika negeri terus menyedot siswa tanpa memperhatikan daya tampung, bagaimana nasib sekolah swasta? Jangan sampai guru swasta jadi korban,” ujarnya.
Anggota Fraksi PKS, Syukron Muchtar, menjanjikan pemanggilan stakeholder terkait. “Kami akan mencari solusi konkret agar sekolah swasta tetap eksis,” katanya.
Tangis dan Tekanan: “Kami Pernah Besar, Kini Tinggal Separuh”
Salah satu testimoni paling emosional datang dari Kepala SMK 2 Mei, seorang pensiunan ASN yang kini berjuang mempertahankan sekolahnya. “Dulu kami punya 1.700 siswa, sekarang tinggal 500. Sekolah lain cuma dapat 4 atau 5 siswa, banyak yang tutup,” ucapnya lirih.
Syamsu Rahman, Ketua Forum Kepala SMK Swasta Lampung, juga mengkritisi Surat Edaran yang melarang kunjungan industri. “SMK tanpa kunjungan industri? Lalu bagaimana siswa belajar dunia kerja? Kami ini mau menangis melihat guru bersertifikasi kini nyaris menganggur,” tegasnya.
Keadilan yang Diperjuangkan dari Ruang Rapat
DPRD diminta hadir bukan hanya sebagai pendengar, tapi sebagai pengambil keputusan yang mampu menyeimbangkan kebutuhan pendidikan negeri dan swasta. Dalam wajah pendidikan Lampung hari ini, para guru dan kepala sekolah tidak hanya menyuarakan jeritan profesi, tapi juga tanggung jawab moral atas generasi masa depan.***