INSIDE POLITIK- Indonesia tengah duduk di atas harta karun masa depan: rare earth elements (REE) atau logam tanah jarang. Namun, menurut R. Haidar Alwi—pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute—potensi luar biasa ini belum dimanfaatkan secara maksimal demi kemandirian bangsa.
“Jangan jual tiket masa depan hanya untuk uang tunai hari ini. REE adalah hak anak cucu kita,” tegas Haidar, mengingatkan bahwa logam ini bukan sekadar tambang, tapi kunci bagi dominasi teknologi global.
REE adalah bahan penting dalam hampir semua teknologi modern: kendaraan listrik, turbin angin, satelit, radar, bahkan persenjataan militer canggih. Negara-negara besar tengah berlomba mengamankan pasokan—Amerika, India, hingga Uni Eropa telah mengincar Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Sayangnya, Indonesia masih terpaku pada pola ekspor mentah yang minim nilai tambah. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 228.K/MB.03/MEM.G/2025, Indonesia memiliki:
- 136,2 juta ton REE dalam bentuk bijih
- 118.650 ton REE dalam bentuk logam
Namun, semua itu tak akan berarti jika dikelola tanpa visi.
“Kalau kita terus jadi penyedia bahan mentah, kita akan selamanya jadi budak teknologi bangsa lain,” kata Haidar.
Dari Tambang ke Teknologi: Solusi Haidar Alwi
Haidar tidak hanya mengkritik, ia juga menawarkan langkah konkret:
- Pusat Riset Nasional REE, melibatkan kampus, BUMN, dan koperasi teknologi rakyat
- Zona Hilirisasi Khusus REE, untuk pemisahan dan manufaktur komponen strategis
- Regulasi Perlindungan Pasokan, agar REE tidak diekspor sembarangan
- Koperasi Tambang Berbasis Teknologi, agar rakyat tidak hanya jadi buruh, tapi pemilik ekonomi
Menurutnya, REE harus menjadi pengungkit ekonomi nasional, pembuka lapangan kerja, dan pintu masuk pendidikan teknologi yang merata. Bahkan, Haidar menyerukan dibentuknya Lembaga Kedaulatan Mineral Strategis yang steril dari mafia tambang dan hanya berpihak pada bangsa.
“Anak-anak kita bisa paham TikTok dan AI, kenapa tidak REE? Kita harus pertemukan tanah dengan otak,” ujarnya.
Di tangan pemimpin visioner, REE bisa menjadi senjata diplomasi, bukan hanya komoditas ekspor. Tiket masa depan ini tidak boleh dijual murah.
Indonesia tak kekurangan sumber daya, hanya sering kekurangan keberanian untuk mengelolanya secara mandiri. Haidar Alwi meyakini, REE adalah momentum emas bagi Indonesia untuk berdiri sejajar dengan negara-negara industri—asal tidak tergoda oleh keuntungan sesaat.
“Bangsa ini besar bukan karena apa yang dimiliki, tapi karena berani bermimpi dan membangunnya sendiri,” pungkasnya.***