Dr. Buyung Syukron, S.Ag., S.S., M.A
Dosen UIN Jurai Siwo Lampung
INSIDE POLITIK- Pemilihan rektor sejatinya adalah panggung terhormat dalam dunia akademik—ruang untuk adu visi, adu integritas, dan adu komitmen terhadap masa depan institusi. Namun, dalam praktiknya, proses ini kerap terjebak dalam dinamika yang mencemaskan: tarik-menarik antara membangun opini positif dan merusak karakter lawan.
Di balik semarak kampanye dan presentasi visi-misi, seringkali ada arus bawah yang tak kasat mata: opini publik yang dibentuk bukan untuk membangun, melainkan menjatuhkan. Bukannya menggugah kepercayaan terhadap calon tertentu karena gagasan-gagasannya, yang terjadi justru sebaliknya—upaya menggali masa lalu, memelintir narasi, dan menebar prasangka untuk mencoreng nama baik lawan.
Analoginya, seperti seorang tukang kebun yang bukannya menyiram tanamannya sendiri agar tumbuh subur, malah sibuk meracuni akar tanaman tetangga. Ia menyebar rumor bahwa tanaman itu lemah, rapuh, dan tak pantas tumbuh di kebun yang sama. Ia lupa, jika semua tukang kebun melakukan hal yang sama, maka seluruh kebun akan mati. Bukan hanya satu pohon yang tumbang, tapi seluruh ekosistem ikut rusak.
Fenomena ini bukan hal baru dalam setiap Pilrek. Opini yang seharusnya dibangun dengan data, rekam jejak, dan logika yang sehat, justru sering dipenuhi bumbu prasangka, distorsi fakta, bahkan fitnah yang dibungkus narasi “kritik.” Padahal, pembusukan karakter tidak hanya merusak satu orang, tapi juga mencederai martabat lembaga pendidikan itu sendiri.
Pertanyaannya, mau ke mana kita membawa proses ini? Apakah kita ingin memelihara budaya saling menjatuhkan demi ambisi kekuasaan, atau membangun tradisi intelektual yang sehat dan bermartabat?
Dalam masyarakat akademik yang menjunjung etika dan nilai-nilai luhur, pemilihan rektor harus menjadi ajang seleksi yang elegan dan terbuka. Semua pihak semestinya menjadikan rekam jejak, integritas, kemampuan manajerial, serta visi kepemimpinan sebagai tolok ukur utama. Bukan sekadar opini viral yang didorong oleh bisik-bisik lorong atau postingan tanpa sumber jelas.
Pilrek adalah cermin bagaimana sebuah lembaga melihat masa depannya. Jika prosesnya tercemar oleh kampanye negatif, maka kita sedang menggali kubur bagi kredibilitas institusi itu sendiri. Namun jika dijaga dengan etika dan akal sehat, Pilrek bisa menjadi tonggak lahirnya pemimpin kampus yang membawa kemajuan dan keberkahan bagi semua.
Sebagai penutup, mari renungkan firman Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat ayat 12:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, serta janganlah sebagian dari kalian menggunjing sebagian yang lain. Suka kah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Biarlah Pilrek menjadi ajang untuk menyemai kebaikan, bukan menyebar kebencian. Sebab, pada akhirnya, yang kita pilih bukan hanya seorang rektor, tapi juga arah dan nasib masa depan lembaga yang kita cintai bersama.***