INSIDE POLITIK – Konflik agraria yang terjadi di Kecamatan Anak Tuha kembali membuka tabir panjang persoalan pertanahan di Indonesia. Selama puluhan tahun, masyarakat dari tiga kampung, yakni Bumi Aji, Negara Aji Tua, dan Negara Aji Baru, hidup dalam ketidakpastian akibat perampasan tanah oleh PT Bumi Sentosa Abadi (PT BSA). Lahan yang menjadi sumber penghidupan warga justru diklaim sebagai milik perusahaan, sementara negara, yang semestinya hadir sebagai pelindung rakyat, seringkali berdiri di pihak korporasi. Kondisi ini menimbulkan ketegangan sosial yang terus meningkat dan memicu rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan petani lokal.
Konflik ini bukan sekadar soal sengketa lahan. Ia adalah manifestasi nyata dari kegagalan negara dalam menjalankan reforma agraria sejati. Petani yang menggantungkan hidupnya dari tanah dipaksa tunduk pada logika modal dan kepentingan perusahaan. Aparat keamanan dikerahkan untuk mengamankan aset perusahaan, sementara rakyat yang berjuang mempertahankan haknya justru menghadapi kriminalisasi. Banyak petani ditangkap, diintimidasi, dan dilabeli sebagai pelanggar hukum. Fenomena ini memperlihatkan ketimpangan keberpihakan negara, di mana kepentingan rakyat dikorbankan demi keuntungan korporasi.
Padahal, UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, tanah rakyat justru diserahkan kepada segelintir elit pemodal. Hak-hak masyarakat adat dan petani penggarap diabaikan, sementara konsesi perusahaan diperpanjang tanpa evaluasi yang adil dan transparan. Kriminalisasi petani tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengkhianati prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Dampak konflik ini sangat luas dan multidimensi. Secara sosial, masyarakat mengalami disintegrasi dan trauma kolektif karena ketidakpastian lahan. Secara ekonomi, kehilangan akses ke tanah produktif menyebabkan sebagian besar warga kehilangan sumber penghidupan, sehingga kemiskinan dan ketergantungan meningkat. Secara psikologis, intimidasi yang terus berlangsung menimbulkan tekanan mental, ketakutan, dan rasa cemas yang berkepanjangan. Secara politik, kriminalisasi petani dan aktivis merusak kepercayaan rakyat terhadap institusi hukum dan negara. Kesemuanya menunjukkan bahwa konflik agraria di Anak Tuha merupakan bagian dari krisis nasional yang memerlukan perhatian serius dan penyelesaian segera.
Dalam menghadapi situasi ini, negara wajib mengambil langkah konkret dan komprehensif. Pertama, menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap petani dan aktivis yang membela hak mereka. Kedua, melakukan audit menyeluruh terhadap legalitas perizinan PT Bumi Sentosa Abadi dan memastikan transparansi dalam setiap proses perolehan tanah. Ketiga, melaksanakan redistribusi lahan sebagai wujud reforma agraria sejati, memberikan hak sah kepada petani penggarap. Keempat, menjamin kepastian hukum melalui pengakuan hak kolektif masyarakat serta melindungi ruang demokrasi dari pendekatan represif. Kelima, pemerintah perlu melibatkan masyarakat, akademisi, dan lembaga independen untuk memastikan setiap langkah penyelesaian konflik dilakukan secara adil dan akuntabel.
Bagus Eka Saputra, Presiden Mahasiswa BEM Polinela sekaligus Koordinator Isu Pertanian dan Agraria BEM SI, menegaskan sikap tegasnya, “Kami mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk mengevaluasi kinerja Menteri ATR/BPN Nusron Wahid secara serius. Jika terbukti tidak mampu menyelesaikan konflik agraria yang akut dan berlarut, terutama terkait PT BSA, Menteri harus diberhentikan. Konflik agraria ini bukan sekadar soal tanah, tetapi juga soal keadilan struktural, keberlanjutan hidup petani, dan martabat rakyat.”
Gerakan mahasiswa menegaskan bahwa perjuangan masyarakat Anak Tuha bukan kriminalitas. Ini adalah hak sah yang dijamin konstitusi untuk mempertahankan ruang hidup. Setiap intimidasi, penangkapan, dan kekerasan terhadap petani merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap amanat konstitusi. Solidaritas mahasiswa dan gerakan rakyat akan terus berdiri bersama masyarakat tiga kampung hingga hak mereka diakui dan keadilan agraria ditegakkan.
Lebih jauh, BEM Polinela dan BEM SI menyerukan agar seluruh elemen masyarakat, organisasi sosial, dan media independen ikut mengawal proses penyelesaian konflik. Partisipasi aktif masyarakat penting untuk memastikan transparansi, mencegah praktik korupsi, dan menjamin hak petani tidak diabaikan. Mereka menekankan bahwa perjuangan ini harus menjadi contoh nasional bagi penyelesaian konflik agraria lainnya yang menimpa rakyat di berbagai daerah.***