InsidePolitik—Maraknya praktik politik uang di pilkada karena kegagalan parpol dalam melakukan pendidikan politik.
Akademisi Ilmu Hukum Tata Negara Unila Dr Muhtadi mengatakan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan politik uang dan pelanggaran netralitas ASN terus terjadi.
Pertama yakni, gagalnya partai politik memberikan pendidikan politik kepada para calon dan juga kepada masyarakat.
Banyak kasus, justru calon atau tim sukses dari Parpol yang mengobral kepada masyarakat, apabila mendukung calon A akan mendapatkan hadiah.
Bahkan ada yang langsung to the point memberikan uang agar bisa dipilih.
“Harusnya Parpol memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bagaimana menjadi pemilih yang cerdas rasional, tanpa ada embel-embel,” katanya.
Parpol seharusnya tidak hanya datang memberikan uang atau transport kepada masyarakat.
“Tapi memang nyatanya pola ini yang sering dilakukan oleh Parpol, meskipun yang disampaikan visi-misi, tapi ujungnya adalah memberikan transport,” ujarnya.
Selain itu lanjut Dr Muhtadi, masyarakat sendiri memang sudah terbentuk pola pikirnya. Masyarakat paham bahwa pemilihan itu, masyarakat dukung siapa, masyarakat dapat berapa.
Hal ini dikarenakan, dulu suara masyarakat tidak dihargai, suara rakyat hanya milik partai, setelah itu tidak diingat lagi.
“Diingatnya hanya saat dikumpulkan kampanye. Maka sekarang pola pikirnya berpindah, kalau mau saya pilih, yah berapa?” katanya.
Selain itu adanya faktor ekonomi, masyarakat di pedesaan tidak seberuntung masyarakat yang tinggal di kota.
“Pada umumnya di desa merupakan petani, itupun sebagai buruh tani, yang pendidikan terbatas. Maka itulah yang mempengaruhi mereka untuk memilih,” ujarnya.
Sementara untuk pelanggaran netralitas ASN. Muhtadi mengungkapkan, instrumen hukum memang melarang ASN terlibat.
Tetapi di daerah, terkadang ada intruksi petahana atau keluarga petahana yang menyalonkan diri menang di suatu daerah sekian persen.
Selain itu, ASN di daerah itu berfikir bahwa nasib masa depan mereka bergantung dengan pimpinan.
Walaupun harus netral, pasti akan ada perintah, dan itu berejenjang sampai ke tingkat paling bawah.
“Itu bukan rahasia umum. Mau bagaimana lagi, satu sisi memikirkan karirnya, di sisi lain aturan memang melarang,” tandasnya.