INSIDE POLITIK- Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung, Ahmad Basuki (Abas), meminta pemerintah pusat segera mengevaluasi kebijakan pembelian jagung yang mensyaratkan kadar air maksimal 14 persen. Aturan ini dinilai menyulitkan petani dan membuat mereka gagal menikmati Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp5.500/kg.
“Lampung adalah provinsi penghasil jagung terbesar keenam di Indonesia. Banyak petani menggantungkan hidupnya dari komoditas ini. Mereka juga berhak merasakan harga jual yang layak, sebagaimana petani padi,” tegas Abas.
Petani Jagung Kesulitan Penuhi Standar Kadar Air
Abas menjelaskan, pada Februari hingga April 2025, Bulog sempat menyerap jagung tanpa syarat kadar air, sesuai arahan Presiden. Namun sejak Mei 2025, penyerapan terhenti karena adanya surat dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang menetapkan standar kadar air 14 persen.
“Jagung petani saat panen masih berkadar air 34–35 persen. Untuk menurunkan hingga 14 persen, mereka butuh dryer. Itu tidak murah, dan sangat sulit saat musim hujan,” ujarnya.
Pengeringan manual menggunakan lantai jemur pun hanya mampu menurunkan kadar air hingga 17 persen, sehingga mustahil memenuhi syarat Bapanas tanpa bantuan alat modern.
Desakan untuk Kebijakan yang Adil
Menurut Abas, jika beras bisa diserap tanpa syarat kadar air, seharusnya jagung juga diperlakukan setara. Ia bahkan telah berkoordinasi dengan Komisi II DPRD di Jawa Timur, NTB, dan Jawa Tengah untuk menyuarakan aspirasi petani jagung secara kolektif ke pemerintah pusat.
Dalam rapat bersama Bulog, DPRD Lampung juga telah menyampaikan desakan agar penyerapan jagung tetap dilakukan meski kadar air di atas 14 persen.
“Bulog siap menyerap dengan persyaratan apapun asal ada restu dari Bapanas. Jadi sekarang bola ada di pemerintah pusat,” ujarnya.
Harga Masih Fluktuatif di Lapangan
Harga jagung pipilan kering di tingkat petani Lampung saat ini masih bervariasi antara Rp3.000 – Rp5.500/kg, tergantung kadar air dan kualitas. Namun tanpa dukungan dari kebijakan pembelian yang fleksibel, petani terus menghadapi tekanan.
“Kami hanya ingin petani jagung juga bisa tersenyum. Pemerintah jangan hanya berpihak pada angka, tapi dengarkan jeritan di lapangan,” tutup Abas.***