INSIDE POLITIK– Dunia sepak bola haus akan cerita, dan Serie A terlalu lama terlelap dalam tidur panjangnya. Jika ada satu nama yang mampu membangunkannya, maka jawabannya hanya satu: Jose Mourinho.
Bukan, dia bukan pelatih paling revolusioner secara taktik saat ini. Namun Mourinho adalah produsen kisah besar di dunia sepak bola—seorang penguasa panggung yang tahu cara mengubah pertandingan menjadi teater, dan tim menjadi legenda.
Era keemasan Serie A—dari Del Piero, Maldini, hingga Pirlo—telah terkubur oleh proyek Galacticos Real Madrid dan ledakan investasi Liga Inggris. Sepak bola Italia meredup, perlahan-lahan nyaris menghilang dari peta utama.
Lalu datanglah Mourinho ke Inter Milan pada 2008, menjawab hasrat Massimo Moratti. Hanya butuh dua musim untuk menaklukkan Eropa. Treble Winner 2010—satu-satunya dalam sejarah Serie A. Ia menumbangkan Barcelona-nya Guardiola, dan membalikkan arah sorotan dunia dari London ke Milan.
Setelah petualangannya ke Real Madrid, Chelsea, dan Manchester United, waktu kembali memanggil Mourinho ke tanah Italia. Kali ini, bukan ke klub raksasa, melainkan ke AS Roma.
Tapi Roma tak lagi sunyi.
Laga Roma vs Salernitana jadi perbincangan internasional. Bukan karena skor, tapi karena kehadiran Mourinho: gestur dramatis, komentar tajam, hingga ekspresi penuh emosi di tepi lapangan. Ia menjadikan sepak bola sebagai hiburan total, sebuah narrative machine dalam dunia yang butuh tokoh utama.
Dan bukan hanya drama—Mourinho juga membawa prestasi. Roma dibawanya menjuarai UEFA Conference League, gelar Eropa pertama sejak 1961. Ia menciptakan figur baru seperti Tammy Abraham dan Zalewski, membangun tim dengan karakter Italia: keras, realistis, dan militan.
Lebih jauh, ia menuntun Roma ke final UEFA Europa League 2023. Meski kalah dari Sevilla, satu hal menjadi jelas: dunia mulai bicara lagi soal klub-klub Italia—bukan karena skandal, tapi karena kualitas.
Efek Mourinho menjalar. Inter Milan kembali ke final Liga Champions. Napoli menjadi kampiun Serie A dengan gaya menyerang memikat. Fiorentina tembus dua final kompetisi Eropa secara beruntun. Penonton global pun mulai menoleh kembali ke Serie A. Akun media sosial klub-klub Italia aktif, dan kanal YouTube sepak bola muda mulai menyebut nama-nama Italia dalam reaksi dan analisis.
Serie A tak hanya perlu pelatih hebat—mereka butuh penggugah emosi, penghidup cerita. Jose Mourinho adalah jawabannya. Ia memberi Serie A apa yang selama ini hilang: perhatian dunia.
Kini, jika Italia kembali memanggil, ke manakah Mourinho akan melabuhkan petualangannya berikutnya?
AC Milan?
Atau Nyonya Tua Juventus yang merindukan panggung Eropa?
Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi satu hal pasti: di dunia yang lapar akan sensasi, Mourinho tetap piring utama.***