INSIDE POLITIK – Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke publik setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI melayangkan surat resmi kepada MPR dan DPR RI, mendesak agar proses pemberhentian Gibran segera digulirkan. Namun, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai langkah tersebut hanya ilusi politik yang tidak akan pernah terwujud.
“Tiga partai politik sudah menolak pemakzulan. Apa itu belum cukup? Itu jelas sinyal kuat bahwa pemakzulan mustahil secara politik,” kata Jimly kepada wartawan, Senin (9/6/2025).
Jimly tidak menyebutkan secara gamblang nama partai-partai tersebut, namun ia menegaskan bahwa dukungan politik yang minim menjadikan wacana pemakzulan Gibran tidak memiliki pijakan yang realistis.
Energi Publik Sebaiknya Dialihkan
Menurut Jimly, daripada terjebak dalam isu yang justru memecah perhatian, masyarakat sebaiknya fokus mengawasi jalannya pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran.
“Energi publik harus diarahkan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Jangan kita buang waktu dan tenaga untuk isu yang tidak produktif,” ujarnya.
Ia juga menyinggung pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap proses Pemilu 2024 yang menurutnya menyisakan banyak catatan penting. Jimly berharap persiapan yang lebih matang dilakukan sejak dini untuk menghadapi Pilpres 2029.
“Pengalaman pahit Pemilu 2024 harus jadi pelajaran. Sekarang saatnya kita pikirkan perbaikan sistem, bukan terus-menerus berkutat di masa lalu,” tegasnya.
Isi Surat Pemakzulan
Surat dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang ditujukan kepada Ketua MPR RI Ahmad Muzani dan Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti dugaan pelanggaran etika dalam proses pencalonan Gibran pada Pilpres 2024. Inti kritik mereka tertuju pada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju meski belum berusia 40 tahun.
Putusan tersebut disebut bermasalah secara etik dan hukum karena diputuskan oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang diketahui sebagai paman kandung Gibran. Anwar kemudian dinyatakan melanggar etik karena tidak mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara yang menyangkut keponakannya sendiri.
“Keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip imparsialitas dan asas fair trial. Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga bisa dinilai sebagai preseden buruk dalam sistem hukum ketatanegaraan,” tulis Forum Purnawirawan dalam suratnya.
Meski demikian, secara politik dan konstitusional, dorongan untuk memakzulkan Gibran tidak memiliki kekuatan yang cukup. Selain harus melewati proses panjang dan ketat di DPR dan MPR, pemakzulan juga membutuhkan dukungan mayoritas mutlak, yang saat ini tidak tersedia.
Isu pemakzulan Gibran tampaknya akan tetap menjadi wacana yang tak berujung. Bagi Jimly, stabilitas pemerintahan dan evaluasi ke depan jauh lebih penting ketimbang mempersoalkan legalitas yang sudah final. Dalam konteks ini, publik diimbau lebih bijak memilah isu, agar tak terjebak dalam narasi politis yang hanya membuang energi tanpa arah.***