INSIDE POLITIK— Di tengah awan kelabu dan lautan massa buruh yang mengguncang Monas, Presiden Prabowo Subianto berdiri di podium, menghadapi 200.000 suara yang haus akan keadilan. Hari Buruh Internasional 2025 tak sekadar menjadi peringatan rutin, tapi momen pertemuan sejarah dan janji: janji negara kepada buruh yang selama ini hanya bergema di udara, tanpa wujud nyata di lapangan.
“Hari ini saya beri hadiah bagi kaum buruh Indonesia,” ujar Prabowo. Sebuah pernyataan keras diikuti pengumuman pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan revisi atas 86 regulasi ketenagakerjaan yang dinilai tak berpihak pada pekerja.
Sorak massa pecah, dipandu oleh Raffi Ahmad dengan yel-yel yang menggema: “Buruh bersatu!” — “Bela negara!” Namun di balik itu semua, statistik menyodorkan kenyataan pahit: 680 ribu lebih buruh di-PHK pada 2023, 36% dari pekerja formal masih terjebak sistem outsourcing, dan 4,2 juta pekerja rumah tangga hidup tanpa kontrak formal.
“Jika perlu, negara akan turun tangan,” janji Prabowo, menegaskan tekadnya untuk menghapus praktik outsourcing secara bertahap.
Puncaknya, ia menggugah kembali nama Marsinah — simbol abadi perjuangan buruh yang nyawanya diambil karena memperjuangkan hak. Prabowo menyatakan dukungannya agar Marsinah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Tak berhenti di sana, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dijanjikan masuk pembahasan DPR pekan depan dan disahkan dalam tiga bulan. Harapan yang lama terkubur kini kembali menyala.
Tapi masih ada luka senyap yang menganga: diskriminasi usia kerja. Dengan lebih dari 2,8 juta pekerja di atas usia 35 tahun kini menganggur, dan 78 juta lainnya terdorong ke sektor informal, bangsa ini diam-diam menggerus kekuatan kerja yang sesungguhnya tangguh.
Di penghujung acara, lagu Internasionale menggetarkan udara. Sejarah seperti berbicara dari masa lalu, dari suara Bung Karno hingga nyala api kaum tertindas. Lagu itu tak sekadar seremoni—ia adalah pengingat bahwa janji adalah utang, dan rakyat tak lupa bagaimana cara menagihnya.
Indonesia hari itu bukan sekadar merayakan Hari Buruh. Ia menandai babak baru, atau mungkin awal dari pertarungan panjang yang belum selesai.***