INSIDE POLITIK— Suara puisi menggema dari Plaza Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu malam, 26 Juli 2025. Di tengah semarak Hari Puisi Indonesia (HPI) ke-13, Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon mengukir sejarah dengan menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia.
Keputusan itu disambut riuh tepuk tangan para penyair dan pecinta sastra yang hadir malam itu. Dalam pidatonya, Fadli Zon menegaskan bahwa puisi bukan hanya karya seni, tetapi juga jiwa bangsa yang patut dirayakan. “Hari Puisi Indonesia akan menjadi momentum tahunan untuk mendorong kemajuan sastra dan budaya nasional,” ujarnya.
Penetapan Hari Puisi Indonesia mulai berlaku tahun 2025 melalui Surat Keputusan Kemenbud, yang malam itu dibacakan langsung oleh Ketua Yayasan HPI, Asrizal Nur, di hadapan para inisiator dan deklarator gerakan HPI. Mereka adalah nama-nama besar dalam dunia sastra Indonesia seperti Sutardji Calzoum Bachri, Rida K Liamsi, Maman S Mahayana, Hasan Aspahani, Taufik Ikram Jamil, Acep Zamzam Noor, D Kemalawati, Isbedy Stiawan ZS, dan lainnya.
Fadli Zon juga menyatakan dukungan terhadap hari-hari perayaan budaya lainnya seperti Hari Komedi. “Semakin banyak ruang untuk merayakan kebudayaan, maka semakin hidup peradaban kita,” katanya.
Acara ditutup dengan parade puisi yang menampilkan suara-suara penuh makna dari para penyair terkemuka, termasuk Fikar W Eda, Moctavianus Masheka, Abdul Kadir Ibrahim, hingga Anwar Putra Bayu. Suasana TIM malam itu menjadi saksi bagaimana puisi hidup, tumbuh, dan akhirnya diakui dalam kalender nasional.
Dengan penetapan ini, puisi Indonesia akhirnya memiliki harinya sendiri—dan para penyair, tempat untuk selalu pulang.***