INSIDE POLITIK— Perayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) ke-13 akan digelar pada Sabtu, 26 Juli 2025, di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Perhelatan akbar ini menghadirkan para penyair dari berbagai daerah, deklarator HPI, hingga para pemenang sayembara buku puisi dan lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia (YHPI).
Ketua YHPI sekaligus ketua pelaksana HPI 2025, Asrizal Nur, menyatakan bahwa Menteri Kebudayaan Fadli Zon dijadwalkan hadir dalam perayaan tersebut. Kehadiran Menbud akan menjadi penanda penting, karena pemerintah secara resmi akan menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia.
“Tahun ini, HPI mengusung tema ‘Puisi Lahir Tak Pernah Mati’, dan akan dihadiri para penyair dari seluruh penjuru negeri. InsyaAllah malam esok Menbud Fadli Zon menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia,” ujar Asrizal.
HPI sendiri pertama kali dideklarasikan pada 22 November 2012 di Pekanbaru, Riau, dan sejak itu dirayakan setiap tahun sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan puisi dalam kebudayaan bangsa.
Deklarator HPI, Chavchay Syaifullah, menyebut bahwa puisi telah lama menjadi bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Puisi menyala dalam semangat juang. Ia hadir di medan ide dan perasaan, menyuarakan kebangsaan lebih kuat dari pidato dan lebih dalam dari selongsong peluru,” ucap Chavchay.
Hal senada disampaikan oleh Anwar Putra Bayu, penyair asal Sumatera Selatan, yang menilai bahwa peringatan HPI oleh negara adalah langkah penting untuk memajukan kesusastraan Indonesia, khususnya puisi.
“Negara mesti ambil peran memuliakan puisi. Sudah semestinya ada satu hari nasional untuk mengenang jasa dan kekuatan puisi, terutama lewat figur ikonik seperti Chairil Anwar,” ujarnya.
Acara HPI 2025 akan dimeriahkan oleh parade baca puisi yang melibatkan sejumlah nama besar di dunia sastra Indonesia, di antaranya:
Sutardji Calzoum Bachri, Rida K. Liamsi, Fakhrunnas MA Jabbar, D. Kemalawati, Isbedy Stiawan ZS, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmadun Yosi Herfanda, Fatin Hamama, hingga penyair muda seperti Octavianus Masheka dan Ulfatin Ch.
Gelaran ini menjadi ruang penting yang menegaskan bahwa puisi bukan hanya seni bahasa, tapi juga denyut budaya bangsa yang layak mendapat panggung nasional.***