InsidePolitik–Kasus PT LEB yang ditangani Kejati Lampung menimbulkan banyak keanehan. Salah satunya adalah, awal mula penyidikan dana Participating Interest (PI) yang dimulai hanya dari aduan masyarakat.
Kejanggalan lainnya adalah, tidak adanya upaya penyelidikan awal yang idealnya dilakukan terlebih dahulu oleh intelijen kejaksaan, hal ini terlihat dari proses penyidikan yang berlangsung amat cepat dan terburu-buru yang dilakukan hanya dalam hitungan hari untuk kasus serumit dan sebesar dana PI yang diterima PT LEB dari PHE OSES.
Hal ini pula yang disebut oleh praktisi hukum, Sopian Sitepu sebagai tindakan hukum yang premature.
Tindakan yang dilakukan Tim Pidsus Kejati Lampung dengan menggeledah kantor dan rumah petinggi PT Lampung Energi Berjaya (LEB), termasuk memeriksa sejumlah saksi dinilai prematur.
“Semestinya ada proses Kejati menelaah dulu sumber Dana PI ini sebesar 10 persen, darimana asalnya dan uang. Termasuk dalam terminologi uang negara atau bukan. Masyarakat perlu jelas,” papar Sopian Sitepu.
Tak hanya itu saja, penyidik Kejati Lampung juga perlu melihat, apakah perolehan ini berdasarkan perjuangan BUMD dalam hal ini perolehannya diusahakan oleh PT LEB atau hanya hibah.
Mengenai penggunaan (pengelolaan) dana tersebut dalam Permen ESDM 37 tahun 2016 tidak ada ditegaskan penggunaan untuk kegiatan secara tegas dan terperinci.
Berdasarkan hal tersebut, maka penggunaan dana harus sesuai rencana kerja yang tertuang dalam PT LEB sesuai dengan keputusan RUPS dan atau Anggaran Dasar PT LEB.
“Apakah juga penerimaan dana ini sudah sampai pada akhir penggunaan dan sampai pada periode pertanggungjawaban,” kata Sopian.
Atas dasar itulah, Sopian menilai tindakan temuan Kejaksaan Tinggi Lampung prematur.
Apakah dalam tindakan pada saat penyelidikan sudah ditemukan perbuatan pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, sehingga ditingkatkan proses ke tingkat penyidikan. Atau sebaliknya, justru belum ditemukan perbuatan pidana.
Menemukan perbuatan pidana, tetapi dalam proses penyidikan diupayakan mencari bukti permulaan adanya perbuatan pidana, tetapi dalam hal lain pihak penyidik telah mendapat keuntungan yakni penyidik mendapat hak untuk melakukan upaya paksa yakni penggeladahan.
“Kita perlu melihat secara menyeluruh persoalan ini supaya tidak terbawa opini yang menyebabkan pemerintah ragu akan mengambil keputusan,” kata Sopian.
Pengamat kebijakan publik, Abdullah Sani bahkan menyebut jika seandainya PHE OSES selaku pemberi deviden menegaskan bahwa pihaknya tak merasa dirugikan dalam pembagian keuntungan dana PI ke PT LEB, maka Kejati Lampung tak bisa melanjutkan penyidikan karena dana PI yang diberikan adalah keuntungan perusahaan dan bukan uang negara.
“Sumber dana PI itu kan dari keuntungan PHE OSES. Dan sekali lagi itu bukan dana hibah apalagi uang negara,” papar Abdullah Sani.
Sani juga menilai penyidik Kejati Lampung perlu memahami definisi uang negara dan bedanya antara dana bagi hasil migas serta dana Participating Interest (PI).
“Sekali lagi, dana PI ini bukan uang negara dan bukan pula uang negara dalam bentuk penyertaan modal, tapi keuntungan yang diperoleh PHE OSES,” tegasnya.
Demikian halnya soal keuntungan yang diperoleh PT LEB dalam pembagian dana PI dari PHE OSES tak bisa dilihat dalam jangka pendek tapi harus mengacu pada kontrak kerjasama yang berlangsung sampai tahun 2038 mendatang.
“Dana PI yang diberikan ke PT LEB baru satu kali atau di tahun pertama, tak bisa lantas mengukur keuntungannya secara langsung di tahun pertama, tapi harus dilihat sampai kontrak selesai di tahun 2038. Kalau waktu kontraknya saja belum selesai, bagaimana menghitung keuntungannya?”.
Karenanya, Abdullah Sani menilai, hukum itu harus diterima logika, tak bisa berdasarkan perasaan maupun asumsi.
“Apalagi, proses pemberian dana PI itu kan diawasi oleh PHE OSES, SKK Migas hingga Kementerian ESDM, mulai dari syarat kelayakan hingga rencana bisnis PT LEB, tak bisa sembarangan dan serampangan,” jelasnya lagi.