INSIDE POLITIK – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu kontroversi dengan memberlakukan larangan perjalanan terbaru yang mulai efektif pada Senin (9/6/2025). Sebanyak 12 negara termasuk Afghanistan, Iran, Haiti, dan Libya kini resmi dilarang memasuki wilayah AS.
Kebijakan ini memperluas langkah keras pemerintahan Trump terhadap imigrasi dan diprediksi akan menghambat jalur pengungsi, sekaligus memicu reaksi dari komunitas internasional. Banyak yang menilai larangan ini menghidupkan kembali kebijakan pemisah dan diskriminatif dari masa jabatan pertamanya.
“Serangan teroris terhadap komunitas Yahudi di Colorado menjadi pengingat bahaya dari warga asing yang masuk tanpa penyaringan menyeluruh,” ujar Trump saat mengumumkan kebijakan tersebut.
Serangan yang dimaksud dilakukan oleh seorang pelaku yang menurut Gedung Putih, telah melewati batas waktu visa di AS. Trump menyebut kejadian ini sebagai bukti nyata perlunya pengawasan lebih ketat terhadap imigrasi.
12 Negara Dilarang Masuk, 8 Negara Dikenai Pembatasan Parsial
Berikut daftar lengkap 12 negara yang dilarang masuk ke AS:
Afghanistan
Myanmar
Chad
Kongo-Brazzaville
Guinea Ekuatorial
Eritrea
Haiti
Iran
Libya
Somalia
Sudan
Yaman
Sementara itu, 8 negara lain seperti Kuba, Laos, Venezuela, dan Turkmenistan dikenai pembatasan perjalanan parsial. Visa kerja sementara masih diperbolehkan untuk warga dari negara-negara ini, namun visa wisata dan kunjungan dibatasi secara ketat.
“Daftar negara ini bisa bertambah seiring berkembangnya ancaman global,” tegas Trump dalam pernyataan resmi Gedung Putih.
Atlet dan Diplomat Dikecualikan
Menariknya, Trump menyatakan bahwa larangan ini tidak berlaku bagi atlet yang akan bertanding di Piala Dunia 2026 maupun Olimpiade Los Angeles 2028. Selain itu, diplomat asing dari negara-negara yang terdampak juga dikecualikan dari aturan ini.
Kebijakan ini kembali membelah opini publik Amerika dan dunia. Pendukung Trump menilai langkah ini sebagai bentuk perlindungan nasional, sementara kritikus menudingnya sebagai langkah diskriminatif yang merusak citra AS sebagai negara tujuan migrasi.
“Ini bukan soal keamanan, ini soal politik identitas dan pencitraan jelang pemilu,” ujar seorang analis politik dari Washington Institute.
Kebijakan ini diperkirakan akan memicu gugatan hukum dan kecaman dari organisasi HAM internasional.(SIF)