InsidePolitik–Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengungkapkan 2 opsi pelantikan kepala daerah hasil pilkada.
Kedua opsi ini berlaku untuk kepala daerah yang bersengketa maupun yang tidak
bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mengatakan usulan tersebut akan dibicarakan dengan penyelenggara pemilu, mulai dari Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Komisi II DPR RI akan segera mengundang saudara Mendagri, KPU, Bawaslu, dan
DKPP untuk merumuskan opsi-opsi pelantikan sebagaimana yang kita tahu,” kata
Rifqinizamy.
Komisi II DPR RI rencananya mengundang para penyelenggara pemilu itu pada 22
Januari 2025 setelah masa reses, ia menjelaskan opsi yang pertama, yakni pelantikan seluruh kepala daerah terpilih dilaksanakan serentak setelah seluruh putusan MK berkekuatan hukum.
Menurutnya, proses sengketa pilkada di MK diperkirakan selesai pada 12 Maret 2025.
“Dan pelantikannya itu kita serahkan kepada presiden karena dasar hukum pelantikan itu adalah perpres,” katanya.
Kemudian opsi yang kedua, yaitu pelantikan dilaksanakan serentak terlebih dahulu, hanya untuk kepala daerah terpilih yang tidak bersengketa.
Berdasarkan peraturan presiden yang ada, pelantikan gubernur dan wakil gubernur digelar pada 7 Februari 2025 dan pelantikan bupati-wakil bupati serta wali kota-wakil wali kota digelar pada 10 Februari 2025.
“Serentak (juga) untuk mereka yang bersengketa, sesuai putusan MK, apakah mau PSU (pemungutan suara ulang), penghitungan ulang dan seterusnya setelah nanti putusan itu kita dapatkan,” katanya.
Namun, dia mengatakan dinamika menuju proses pelantikan kepala daerah secara
serentak hasil Pilkada 2024 terdapat dilema atau problematika hukum.
Di satu sisi, berdasarkan hukum putusan MK Nomor 46 Tahun 2024 menyatakan
bahwa pelantikan baru bisa dilaksanakan setelah seluruh sengketa di MK selesai atau telah mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum.
Namun, menurut dia, hal itu dikecualikan bagi daerah yang akan melaksanakan
pemungutan suara ulang (PSU), penghitungan suara ulang atau pilkada ulang, karena adanya keadaan force majeure.
Di sisi lain, dia menjelaskan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Pasal 160 dan 160A, menyebutkan bahwa tahapan pelantikan adalah satu konsekuensi dari penetapan yang dilakukan KPU di provinsi, kabupaten, kota, yang waktunya telah diatur sedemikian rupa.
“Sehingga kalau menunggu putusan MK usai semua pada pertengahan Maret 2024
maka ada kecenderungan juga melanggar dua pasal undang-undang ini,” katanya