InsidePolitik–Hingga kini kasus mark up DPRD Tanggamus mandek di Kejati Lampung tanpa ada kejelasan perkembangan.
Padahal kasus korupsi ini sudah terjadi sejak tiga tahun lalu, namun pemeriksaan kasus korupsi Mark Up anggaran perjalanan dinas anggota DPRD Kabupaten Tanggamus Tahun Anggaran 2021 hingga saat ini belum ada titik terang.
Terkait pengembalian kerugian negara yang mencapai Rp 9 Miliar hingga kini kata
Kejati Lampung terhitung tinggal Rp 225 Juta lagi.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu terdapat beberapa alasan Kejati Lampung belum melanjutkan pemeriksaan lanjutan terhadap kasus yang menjadi perbincangan
masyarakat khususnya Kabupaten Tanggamus.
Diantaranya disampaikan oleh Ricky, Kejati Lampung mendapatkan atensi resmi Kejaksaan Agung untuk menghentikan sementara pemeriksaan kasus tersebut mengingat sebelumnya masuk pada tahapan Pemilu 2024.
Namun sampai kini Kejati Lampung belum juga melanjutkan pemeriksaannya. Padahal, sudah di penghujung tahun 2024.
Kasus mark up ini makin menambah deretan tumpukan kasus korupsi yang mandek di Kejati Lampung.
Banyak kasus yang menguap begitu saja di Kejati Lampung tanpa ada kejelasan resmi apalagi upaya menuntaskan kasusnya.
Seperti diketahui, oknum Anggota DPRD Tanggamus diduga melakukan Mark Up biaya perjalanan dinas yang berasal dari APBD Tahun Anggaran 2021 yang tereterealisasi sebesar Rp 12 miliar.
Dimana mark up yang dilakukan masuk dalam komponen biaya penginapan pada
anggaran belanja perjalanan dinas paket meeting luar dan dalam kota sekretariat DPRD
Kabupaten Tanggamus, dimana paket tersebut berupa biaya di dua hotel di Kota
Bandar Lampung, dua hotel di Jakarta, tujuh hotel di Sumatra Selatan dan 12 hotel di
Jawa Barat.
Adapun modus yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota DPRD Tanggamus yakni
dengan penggelembungan biaya kamar hotel di daerah yang telah memiliki tagihan dan
dilampirkan di Surat Perjalanan Dinas (SPJ).
Selanjutnya dengan cara menambah atau melebihkan harga kamar hotel yang tidak
sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh pihak hotel, serta melakukan tagihan
fiktif hotel pada SPJ dimana nama yang dilampirkan tidak pernah menginap
berdasarkan data yang ada di komputer masing-masing hotel.