INSIDE POLITIK– Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, mengingatkan bahwa Indonesia tak bisa lagi bersikap pasif dalam menghadapi krisis logam tanah jarang global. Laporan terbaru McKinsey & Company memperkirakan permintaan logam neodymium dan praseodymium akan meningkat hampir tiga kali lipat dari 59.000 ton pada 2022 menjadi 176.000 ton pada 2035. Namun, pasokan global hanya mencukupi sekitar 70% dari kebutuhan itu.
“Ini bukan lagi sekadar data ekonomi. Ini peta krisis masa depan. Kalau McKinsey sudah bicara defisit global, kita harus segera bicara strategi nasional,” ujar Haidar.
Rare Earth: Jantung Teknologi Global, Krisis Semakin Nyata
Magnet tanah jarang merupakan komponen utama dalam kendaraan listrik (EV), turbin angin, sistem pertahanan, satelit, hingga robotika. Saat ini, China mendominasi pasar dengan lebih dari 60% produksi dan 80% proses pemurnian logam tanah jarang dunia.
“Negara besar sedang sibuk menyelamatkan pasokan REE mereka, tapi kita masih sibuk rapat antar kementerian yang tak kunjung tuntas,” kritik Haidar.
Ia menilai, Indonesia terlalu lama berada di zona nyaman sebagai eksportir bahan mentah. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya logam tanah jarang yang melimpah di wilayah bekas tambang timah, bauksit, dan nikel—namun belum tergarap serius.
Solusi dari Bawah: Tambang Rakyat Jadi Awal Kedaulatan
Menurut Haidar, kebangkitan industri tanah jarang nasional harus dimulai dari yang paling dekat: tambang rakyat.
“Yang dianggap limbah oleh perusahaan besar, ternyata justru mengandung REE yang bernilai tinggi. Negara harus memberi izin tambang rakyat, latih teknologinya, dan sambungkan ke hilirisasi,” jelasnya.
Ia mendorong diterbitkannya Izin Pertambangan Rakyat (IPR) khusus logam tanah jarang, serta pendirian Badan Nasional Rare Earth (BNRE) untuk mengatur riset, pemrosesan, hingga daur ulang limbah elektronik.
“Kalau kita serius, bukan tak mungkin dari koperasi desa, dari universitas negeri, bisa lahir teknologi magnet lokal yang menggantikan dominasi asing,” tambahnya.
Indonesia Harus Jadi Pemilik Teknologi, Bukan Penonton
Lebih dari sekadar pertambangan, Haidar memandang tanah jarang sebagai isu kedaulatan nasional.
“Kalau kita tidak segera bangun, krisis ini akan jadi peluang negara lain dan kita kembali jadi penonton. Bahkan lebih buruk—kita hanya akan jadi pasar barang mahal hasil tanah kita sendiri,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Haidar menyerukan keberanian nasional:
“Jangan tunggu investor asing bangun smelter, jangan tunggu insinyur luar untuk inovasi. Mulailah dari rakyat. Tanah jarang adalah masa depan. Kedaulatan harus dibangun dari bawah.”***