INSIDE POLITIK– Kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, ke Lampung pada akhir Juli 2025 menuai kritik tajam dari publik, khususnya pegiat hak atas tanah. Kunjungan tersebut dinilai hanya menjadi simbol tanpa solusi konkret terhadap konflik agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun, salah satunya di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, dalam rilis tertulis pada Selasa malam (29/7/2025), menilai kehadiran Menteri Nusron hanya mempertegas kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik struktural antara rakyat dan korporasi.
“Beliau datang, tapi tidak menyentuh akar masalah. Tidak ada kunjungan langsung ke titik konflik, tak ada dialog dengan korban agraria, padahal masyarakat sudah lama menanti kehadiran negara,” tegasnya.
Konflik di Kecamatan Anak Tuha melibatkan warga dari tiga kampung: Bumi Aji, Negara Aji Tua, dan Negara Aji Baru, yang telah menggarap lahan sejak sebelum terbitnya Hak Guna Usaha (HGU). Namun, sejak 1972, lahan ini diklaim oleh PT Bumi Sentosa Abadi (BSA), dengan total area klaim mencapai 807 hingga 955 hektare.
Mirisnya, menurut catatan LBH, sebelum 2022 hanya sekitar 60-65 hektare yang benar-benar dikelola perusahaan. Sementara sisanya telah kembali dikelola masyarakat sejak 2014. Gugatan masyarakat ditolak dengan alasan administratif, sementara proses penerbitan HGU dilakukan tanpa partisipasi bermakna dari warga.
Tragedi memuncak pada September 2023, ketika aparat gabungan melakukan penggusuran paksa. Sebanyak 1.500 personel dikerahkan, lahan diratakan, warga ditangkap dan dikriminalisasi. “Negara hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tapi sebagai pelayan korporasi,” kata Sumaindra.
Masyarakat tetap bertahan, menuntut pencabutan HGU PT BSA dan pengembalian tanah mereka. Sejak April 2025, aksi damai terus digelar di kantor Bupati dan DPRD Lampung Tengah, dengan tuntutan pembentukan pansus agraria, evaluasi legalitas HGU, hingga pembebasan petani yang ditahan.
Namun, hingga kini tak ada langkah nyata dari pemerintah pusat maupun daerah. “Janji-janji mediasi dan audiensi hanya menggantung di udara,” kritik LBH.
LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik ini bukan sekadar sengketa lahan, melainkan persoalan keadilan struktural. “Negara gagal hadir sebagai penengah yang adil. Saat ini, hukum hanya berpihak pada kekuatan modal.”
Kedatangan Menteri ATR/BPN seharusnya menjadi momentum reformasi agraria yang riil. Tapi tanpa audit lapangan, mediasi terbuka, dan keberanian mencabut HGU yang cacat hukum, semua hanya akan jadi seremoni kosong. Rakyat bukan butuh janji, tapi tanah dan kehidupan yang layak.***