INSIDE POLITIK – Suasana khidmat dan penuh makna menyelimuti Pekon Margadadi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Pringsewu, saat masyarakat menggelar tradisi Bersih Desa dalam rangka memperingati 1 Muharam atau malam Satu Suro dalam penanggalan Jawa.
Puncak acara diselenggarakan pada Sabtu malam (4/7/2025) dengan suguhan Wayang Kulit Semalam Suntuk, menampilkan Ki Dalang Hadi Suyatno dari Pekon Kediri, Pardasuka, yang membawakan lakon “Wahyu Cakra Ningrat”, sarat nilai spiritual dan filosofi kepemimpinan.
Tradisi Kenduri dan Tontonan Rakyat Pukau Warga
Rangkaian kegiatan diawali dengan kenduri adat Jawa, di mana warga membawa nasi lengkap dengan lauk-pauk, lalu saling bertukar sebagai simbol syukur dan kebersamaan. Kegiatan ini menjadi ajang silaturahmi serta doa bersama untuk keselamatan dan ketentraman desa.
Sebelum pertunjukan wayang dimulai, masyarakat disuguhkan penampilan seni tradisional yang memukau, di antaranya:
- Seni bela diri Setiya Hati (SH)
- Tari Kuda Kepang Setyo Budoyo pimpinan Bapak Tri Wahyudi
- Campursari yang menambah semarak suasana malam budaya tersebut.
Ruwat Desa: Doa untuk Keamanan dan Kemakmuran
Dalam sambutannya, Ketua Badan Himpun Pekon (BHP) Margadadi, Misino, menjelaskan bahwa meski acara bersih desa tahun ini tidak tepat di malam 1 Suro karena penyesuaian jadwal, namun tujuan spiritual tetap menjadi inti kegiatan. Tradisi ini dirangkai dengan ruwatan desa, sebuah bentuk doa bersama agar seluruh warga terhindar dari marabahaya, hidup damai, sehat, dan penuh berkah.
Ketua panitia, Maradona, turut menyampaikan sejarah singkat Pekon Margadadi sebagai bagian dari refleksi identitas kultural dan keberlanjutan tradisi nenek moyang.
Dihadiri Tokoh dan Pejabat Daerah
Acara malam suran ini juga dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat dan pejabat, antara lain:
- Perwakilan Camat Ambarawa
- Anggota DPRD Pringsewu Suryo Cahyono dari Fraksi PDIP
- Bhabinkamtibmas dan Babinsa
- Para Kepala Pekon dari desa sekitar
- Tokoh adat, tokoh agama, dan ratusan warga dari berbagai lapisan.
Acara tahunan ini bukan sekadar pelestarian budaya, tapi juga menjadi media penguat solidaritas sosial, spiritualitas lokal, serta kebanggaan atas warisan budaya leluhur.***