INSIDE POLITIK – Sejarah bukan sekadar barisan tanggal dan peristiwa. Ia adalah darah, luka, dan dendam yang diwariskan. Kini, langit Timur Tengah kembali memerah. Di satu sisi berdiri Iran, dengan warisan revolusi dan keberanian yang mengakar pada pemikiran Khomeini—sebuah anti-tesa terhadap hegemoni global. Di sisi lain, Israel—representasi mutakhir dari kolonialisme modern, bersenjatakan teknologi, dan dibalut dengan retorika suci yang menyesatkan.
Apakah ini hanya perang teritorial? Tidak. Ini adalah benturan ideologi. Ini adalah pertarungan antara “resistensi melawan dominasi”, antara dunia yang ingin membebaskan diri dari narasi barat dan mereka yang terus menjadikan senjata sebagai alat negosiasi.
Realisme Politik vs Filsafat Perlawanan
Henry Kissinger pernah berkata, “Perdamaian tercipta bukan dari moralitas, tapi dari keseimbangan kekuasaan.” Israel, sejak berdirinya, telah membuktikan kebenaran itu. Dengan sokongan miliaran dolar dari Amerika Serikat, negara ini bertahan bukan karena legitimasi moral, tetapi karena keberpihakan militer adidaya. Tapi sejarah selalu melahirkan antitesis. Dari jantung Persia, Iran menyuarakan oposisi.
Dengan semangat Revolusi 1979, Iran bukan hanya negara. Ia adalah gagasan tentang perlawanan terhadap “imperialisme kembar”: Amerika dan Zionisme. Ini adalah tafsir geopolitik dari konsep Hegelian tentang “dialektika sejarah” akan selalu ada lawan atas setiap tesis dominasi. Iran, bagi dunia Islam yang tercerai-berai, adalah simbol bahwa melawan itu masih mungkin.
Perang Asimetris dan Akhir Mitologi Keamanan Israel
Dulu, publik dunia percaya pada mitos keamanan Israel bahwa Iron Dome adalah perisai dewa yang tak tertembus. Tapi perang modern bukan lagi tentang tank dan rudal. Ini adalah era perang spiritual, ekonomi, informasi. Di sinilah “filsafat Foucault tentang kekuasaan” menjadi nyata: kekuasaan bukan lagi sekadar peluru, tapi kendali atas narasi.
Iran dan poros perlawanan—Hizbullah, Hamas, dan Houthi—mampu memutarbalikkan skenario. Ketika Tel Aviv terguncang oleh drone murah dan rudal buatan sendiri, dunia menyaksikan bagaimana imperium bisa terancam oleh kekuatan yang dulu mereka sepelekan. Sejarah mencatat: *David bisa mengalahkan Goliath*, jika ia tahu ke mana harus melempar batu.
Dunia Sedang Bergeser, Barat Mulai Letih
Perang ini terjadi saat Barat sedang tenggelam dalam krisis identitas. Kapitalisme digugat dari dalam. Nilai-nilai liberal kehilangan daya magisnya. Anak-anak muda di Paris dan New York tidak lagi percaya bahwa kebebasan bisa disandingkan dengan pembantaian di Gaza. Ini adalah momentum langka.
Iran tak hanya mengangkat senjata, tetapi juga membawa pesan: bahwa dunia multipolar sedang lahir. Bahwa ada alternatif selain tunduk pada Washington dan Tel Aviv.
Akhir Sebuah Era, Awal Sebuah Perlawanan
Kini, perang antara Iran dan Israel bukan hanya tentang dua negara. Ini adalah pertarungan kosmik antara penindas dan yang ditindas. Ini adalah pembacaan ulang terhadap sejarah yang selama ini ditulis oleh para pemenang.
Bila Heidegger menyebut “Zaman Modern sebagai Zaman Pelupaan yang Asli”, maka perang ini adalah pengingat: bahwa masih ada bangsa-bangsa yang ingat akan luka dan kehormatan. Masih ada umat yang menolak tunduk. Dan lonceng—sekali lagi—sedang berdentang. Bukan untuk mereka yang lelah, tapi bagi mereka yang bersiap menjadi bara terakhir dalam api panjang perlawanan.***